foto dari sini |
Kadang-kadang aku bisa lebih meleleh dari sebatang lilin
yang menyala. Seperti kemarin. Aku
berjumpa dengan seorang perempuan dalam sebuah acara bedah novel karya salah
satu teman. Wajahnya bulat, berkulit putih dan bermata sipit.
Sebenarnya pertemuanku dengannya sudah bisa kuduga. Begitupun
kata-kata yang akan ia ucapkan. Karena pada beberapa pertemuan sebelum ini telingaku
telah mendengarnya. Tapi tetap saja setiap perempuan penyair itu melafalkan
rerangkai kata-kata itu seketika ada yang berkobar dalam diriku, membakar tubuh
beserta semua simpul-simpul persendian, hingga aku benar-benar meleleh. Tak berdaya.
“Menulislah dengan mata batin.” Tuturnya.
Namanya Iriani R. Tandi. Saat ditanya apakah R itu, ia
menjawab itu nama orang tuanya. Perempuan ini sudah seperti Ibu kami –aku dan
teman-teman di FLP Jambi-. Dalam beberapa sesi kami mengkhususkan diri belajar
membuat puisi bersamanya.
Sebenarnya sesi belajar membuat puisi dengannya malah lebih
terkesan belajar tentang kehidupan dalam
keutuhannya. Dalam Ketuhanannya.
Aku sangat suka puisi-puisinya. Karena selalu berisikan
semangat atau hikmah-hikmah dari hasil perasan dan perasaannya tentang apa saja
yang terjadi di sekitar kita. Yang kadang luput dari penglihatan mata batin
kita. Yang tentu saja disajikan dalam kalimat puitis yang manis.
Sepenggal puisinya ini salah satu yang paling aku suka:
Ambil mata kalimu
Pergilah memancing
Dan jatuh cintalah pada matahari
Selain itu yang paling aku tandai. Paling aku garis bawahi
adalah ‘ajarannya’ tentang kejujuran. Bahwa seorang penulis haruslah jujur akan
karya-karyanya. Kata-kata di dalamnya benar-benar hasil perasan jiwa. Tanpa adanya
hasrat untuk ia jadi terpandang, dipuja-puji dengan karya-karya itu.
Singkat. Tapi berat. Tapi semakin membuat aku jatuh cinta
pada menulis. Pada puisi.
NB: Buku puisi beliau terbaru berjudul ‘TIga Bangku’. Sila
dilihat reviewnya di sini
0 komentar:
Posting Komentar