foto dari sini |
Dalam berbagai cara, segala sesuatu di didunia
ini berhubungan. Saya percaya itu. Terutama dalam hal yang berbau seni, akan
sangat kentara sekali. Misalnya saat saya melihat tayangan master chef di
televisi pikiran saya malah kadang membayangkan bukan hanya perseteruan (dalam
arti yang baik) antar koki, tapi justru penyair.
Koki dan penyair sama saja. Mereka dituntut
untuk menghasilkan karya seni yang luar biasa. Maha karya. Seperti halnya
masakan yang harus dituntut rasa yang enak, pas, lezat, bergizi, bertkestrur, punya
komposisi yang baik, disajikan dengan indah, memiliki kejutan, mengundang
selera orang untuk memakannya dan lain sebagainya, - tidakkah puisi dituntut
seperti itu?
Memiliki kejutan. Itu pasti. Misalnya tentang bagaimana
bisa membuat makan berbahan ubi tau singkong menjadi menu sajian pada hotel
berbintang, sajian yang tidak disangka-sangka. Dengan kata lain berbahan dasar sederhana namun saat dimakan serasa
ada ledakan-ledakan kembang api –sebuah perayaan di dalam mulut- seperti dalam
film ratatouille.
Joko pinurbo salah satu yang piawai dalam hal
ini. Menurut saya beliau bisa membuat hal-hal sederhana yang acap kali kita
lihat, menjadi sesuatu yang begitu wah, mengejutkan, mendebar-debarkan. Contohnya seperti sajak-sajak pendek ini.
Bercelana
sependek-pendeknya.
Bersedih sependek-pendeknya.
Bermimpi sepanjang-panjangnya.
---
Mimpi
itu sejenis mabuk juga, bukan?
Mabuk yang gratis dan aman.
---
Saya
tidak gila.
Hanya makin terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa.
Dan masih banyak lagi.
Begitupun Afrizal Malna. Beliau malah membuat puisi dari kipas angin, kulkas, koas kaki, ember dsb. Di tangannya itu lumer dan melebur menjadi komposisi-komposisi yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Sebagaimana makanan yang harus melewati proses
memasak –entah digoreng, rebus, kukus, dan lain sebagainya (atau bahkan hanya
dipotong-potong saja)- begitupun dengan puisi, kata-kata harus dimasak terlebih
dahulu, dalam bahasa yang kita mafhumi besama disebut; perenungan.
Puisi-puisi yang hebat tak terlepas dari
perenungan yang juga hebat. Om Hasan Aspahani pernah panjang lebar menceritakan
proses kreatifnya, yang sebagian besar diutamakan perenungan-perenungan. Sorang
penulis harus peka terhadap sekitarnya. Ia tidak hanya memotret, tapi juga
meneliti rebih rinci. Sangat rinci.
Namun juga bukan sekadar melihat rinci dalam
jarak dekat. Penyair juga harus mundur sedikit demi sedikit dari objeknya, agar
bisa melihat keseluruhannya, berputar, melihat dari segala sudut. Dengan begitu
karyanya akan cemerlang dan mampu tampil dengan tingkat keobjektifitasan yang
terpercaya.
Om Hasan mencontohkan Chairil Anwar. Ia tidak
menulis sajak-sajak perjuangan tidak di tahun 45 namun di tahun-tahun
sesudahnya.
Kejadian tau peristiwa atau segala sesuatu di
sekitar kita adalah bahan baku hidangan puisi kita, yang harus kita kenali,
pahami dengan baik kadar kematanganya masing-masing. agar puisi yang kita
sajikan bukan sepiring kata-kata mentah.
(ini tamparan buat saya sendiri)
0 komentar:
Posting Komentar