Kamis, 31 Januari 2013

Master Poet


foto dari sini

Dalam berbagai cara, segala sesuatu di didunia ini berhubungan. Saya percaya itu. Terutama dalam hal yang berbau seni, akan sangat kentara sekali. Misalnya saat saya melihat tayangan master chef di televisi pikiran saya malah kadang membayangkan bukan hanya perseteruan (dalam arti yang baik) antar koki, tapi justru penyair.

Koki dan penyair sama saja. Mereka dituntut untuk menghasilkan karya seni yang luar biasa. Maha karya. Seperti halnya masakan yang harus dituntut rasa yang enak, pas, lezat, bergizi, bertkestrur, punya komposisi yang baik, disajikan dengan indah, memiliki kejutan, mengundang selera orang untuk memakannya dan lain sebagainya, - tidakkah puisi dituntut seperti itu?

Memiliki kejutan. Itu pasti. Misalnya tentang bagaimana bisa membuat makan berbahan ubi tau singkong menjadi menu sajian pada hotel berbintang, sajian yang tidak disangka-sangka. Dengan kata lain berbahan dasar sederhana namun saat dimakan serasa ada ledakan-ledakan kembang api –sebuah perayaan di dalam mulut- seperti dalam film ratatouille.

Joko pinurbo salah satu yang piawai dalam hal ini. Menurut saya beliau bisa membuat hal-hal sederhana yang acap kali kita lihat, menjadi sesuatu yang begitu wah, mengejutkan, mendebar-debarkan.  Contohnya seperti sajak-sajak pendek ini.

Masa kecilku biasa-biasa saja. 
Bercelana sependek-pendeknya. 
Bersedih sependek-pendeknya. 
Bermimpi sepanjang-panjangnya. 
---

Mimpi itu sejenis mabuk juga, bukan? 
Mabuk yang gratis dan aman. 
---

Saya tidak gila. 
Hanya makin terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa.
 

Dan masih banyak lagi.

Begitupun Afrizal Malna. Beliau malah membuat puisi dari kipas angin, kulkas, koas kaki, ember dsb. Di tangannya  itu lumer dan melebur menjadi komposisi-komposisi yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
 
Sebagaimana makanan yang harus melewati proses memasak –entah digoreng, rebus, kukus, dan lain sebagainya (atau bahkan hanya dipotong-potong saja)- begitupun dengan puisi, kata-kata harus dimasak terlebih dahulu, dalam bahasa yang kita mafhumi besama disebut; perenungan.

Puisi-puisi yang hebat tak terlepas dari perenungan yang juga hebat. Om Hasan Aspahani pernah panjang lebar menceritakan proses kreatifnya, yang sebagian besar diutamakan perenungan-perenungan. Sorang penulis harus peka terhadap sekitarnya. Ia tidak hanya memotret, tapi juga meneliti rebih rinci. Sangat rinci. 

Namun juga bukan sekadar melihat rinci dalam jarak dekat. Penyair juga harus mundur sedikit demi sedikit dari objeknya, agar bisa melihat keseluruhannya, berputar, melihat dari segala sudut. Dengan begitu karyanya akan cemerlang dan mampu tampil dengan tingkat keobjektifitasan yang terpercaya.

Om Hasan mencontohkan Chairil Anwar. Ia tidak menulis sajak-sajak perjuangan tidak di tahun 45 namun di tahun-tahun sesudahnya. 

Kejadian tau peristiwa atau segala sesuatu di sekitar kita adalah bahan baku hidangan puisi kita, yang harus kita kenali, pahami dengan baik kadar kematanganya masing-masing. agar puisi yang kita sajikan bukan sepiring kata-kata mentah.

(ini tamparan buat saya sendiri)

0 komentar:

Posting Komentar