Putih itu
tidak selamanya suci. Amplop-amplop dalam map itu juga berwarna putih. Dibawa dengan
tangan kiri berjam tangan rolex keluaran terbaru ke dalam sebuah ruang rapat. Tertutup. Apa yang diperbincangkan selanjutnya merujuk pada isi amplop itu. Seperti di dalamnya
ada pasal-pasal tegas perundang-undangan. Apa yang dituliskan berikutnya juga berdasar pada apa yang disabdakan dalam amplop itu. Seperti sebuah kitab suci
yang harus diikuti. Dan ditaati. Amplop-amplop itu masih juga berwarna putih
saat dirobek.
Kertas kosong
itu juga berwarna putih. Tak ada satu huruf bahkan titik tinta di atasnya. Bersih.
Tapi bagi seorang penulis, kertas kosong itu sama saja seperti pocong. Yang membuat
sesuatu dalam kepalanya menjerit bila tak ada sebuah idepun yang mampu dijerat
menjadi kalimat demi kalimat yang tersurat. Tertulis jelas di atas kertas.
Ya, sebut
saja sindrom kertas putih. Kalau putih bagi amplop yang dibawa ke ruang rapat
itu amat menenangkan bagi pemberi dan penerimanya, tapi bagi penulis putih
kertas sama halnya sebuah medan perang yang dihamparkan di hadapannya. Di atas
meja. Di atas pangkuannya. Di dalam bis kota. Di meja makan. Di kursi taman. Di
mana saja penulis itu ingin menulis.
“Tidak ada
ide!” ah tidakkah ini begitu klasik. Begitu banyak sesuatu yang berkeliaran di
sekitar. Begitu banyak yang didengar, dilihat, dicium, dirasakan hati hingga
menjadi berdebar-debar. Tapi kertas putih itu masih saja kosong. Tangan masih
mengetuk, memutar-mutar pena. Seperti jarum detik yang berputar-putar. Seperti ingin
menjelaskan apa yang terjadi di dalam kepala. Ada ide sebenarnya, tidak hanya
satu, tapi sepuluh, seratus, atau bahkan beribu ide hingga tak terhitung.
Kertas putih
itu masih kosong. Justru karena teramat banyak ide. Akhirnya masing-masing ide
saling berdesak-desakkan. Saling sikut saling dorong ingin terlihat paling
kuat. Ya, mereka pikir dengan terlihat paling kuat mereka akan terpilih dan
dikeluarkan dari desak-desakkan dalam kepala melalui ujung mata pena menuju
keluasan putih kertas.
Kertas putih
itu masih kosong. “Cinta, saat gerimis turun, dan hatimu menjadi sejuk ranum
seperti daun-daun.” Aha! Sepertinya ada ide yang kuat. Cinta seperti ini pasti
indah bila dituliskan.
Kertas putih
itu masih kosong. Tangan masih tak beranjak. Masih mengetuk, memutar pena. Ah,
cinta seperti itu sih sudah biasa. Basi. Lalu beralih ke ide lain lagi. Tampak dalam
kepala sebuah ide terengah-engah setelah merobohkan ide-ide yang lainnya. “Aku.
Aku adalah kamu yang ditilang polisi tadi pagi. Sangat menyebalkan bukan?” Ya,
harus dituliskan!
Ah, ini
jadi curhat namanya. Mana mau orang-orang peduli urusan pribadi. Tangan menarik ujung pena kembali. Diketuk-ketukkan lagi ke meja. Kertas putih itu masih
kosong.
Ratusan ide
pun masih berdesak-desakkan berputar-putar. Seperti jarum jam yang tak menemui
titik hentinya. Sudah lima jam, dan kertas putih itu masih saja kosong.
Dan aku
masih bingung ingin menulis apa.