Ini adalah
sungai yang tak terseberangi hanya dalam seratus atau dua ratus dayung. Di
pinggir satunya tiba-tiba bola matamu melukiskan ketakutan yang teramat lebar.
Namun kecil sekali langkah kakimu saat menapaki dermaga yang terapung-apung.
Detak jantungmu seperti lampu gantung yang temaram berayun-ayun.
“Kalian
ingin menyeberang?”
Ini adalah
sungai tenang yang menghanyutkan. Tiba-tiba kau menarik nafas dalam-dalam,
seakan sedang membandingkan dasar rongga parumu dengan garis kedalaman di mana
benda-benda yang tercebur ke sungai tenggelam dan mengendap. Ah, tapi siapa
bisa mengira sungai ini sedalam apa. Tubuh sungai yang keruh itu seperti jasad
air yang mengapung setelah terlepas dari pemberat, nyawanya sendiri.
“Iya, ke
kampung seberang.”
Di bentang
ini sungai tak berjembatan. Tempuhan jarak hanya pada perahu-perahu kecil
semacam ini –orang-orang di sini menyebutnya ketek. Perahu-perahu yang begitu
saja mengapung, tak berpelindung tak berpelampung. Perlahan bergoyang-goyang. Cemasmu
menggenggam erat pinggiran perahu. Seperti menggenggam sebuah perisai pada
perang yang sedang terlontarkan ribuan anak panah. Melupahapuskan bayang-bayang
malaikat hitam. Hingga sampai di pinggir satunya.
“Dua ribu
rupiah.” Katanya.
Dan kaupun menerima
kembali nyawamu, yang tadi tergantung di legam urat lehernya.
0 komentar:
Posting Komentar