Dengan langkah
gugup kami memasuki pintu utama gedung hotel, disambut pintu kaca otomatis yang
baik hati membuka dirinya untuk kami. Seketika langkah kami mencium ubin licin
gemerlap sebuah lobi megah dengan tangga berkarpet merah, berulin-ulin seperti
ular menggapai lantai diatasnya. Suasana ruangan nan mewah ditambah hawa
pendingin ruangan menusuk membuat kami semakin gugup.
Sejurus kemudian
kami melangkah menuju meja resepsionis, bermaksud menanyakan sebuah nama yang yang
kami cari. Pria resepsionis menyambut ramah dan menanyakan urusan apa yang bisa
di bantu. Setelah kami utarakan maksud, telunjuknya pun langsung menyusuri sebuah
buku tamu lalu berbicara dengan seseorang diujung telepon.
“Ya, sebentar
lagi bapaknya turun!”
“Makasih ya!”
kami membarter senyum.
Dengan dada yang
makin degup, kami mendudukkan gugup di sofa merah. Suara riuh rendah
terdengar dari beberapa orang paruh baya yang sedang asyik melingkari
beberapa buah meja kecil. Aku memperhatikan cantiknya lampu kristal lobi hotel yang menggantung redup.
“Aduhhh, aku
gugup nih!” temanku meremas-remas jarinya. Aku cuma tersenyum.
Tak beberapa
lalam sosok sederhana yang ingin kami temui itu keluar dari dalam perut lift,
melangkah perlahan kearah sofa kami. Sebenarnya kami belum memiliki peta wajah
masing-masing. Mungkin sikap kikuk kami itulah yang menjadi penunjuk sehingga
ia langsung mengenali kami.
“Muhyi ya?” iya
menyapa temanku.
“Eh iya om!”
kami bersungut-sungut.
Kami saling
berjabat tangan, bertanya kabar lalu duduk bersama. Pria sederhana itu
mengerjap-kerjapkan matanya yang merah. Ah, kami jadi sedikit tak enak hati
padanya. Sebab awalnya beliaulah yang menunggu kami di lobi hotel itu. Sesuai waktu yang disepakati melalui sms
kami, pukul 09.00. Tetapi kami terlambat setengah jam karena sedang menghadiri
acara di tempat lain. Sehingga ia pun kembali naik kekamarnya lalu
mengistirahatkan mata kembali. Ah, maaf ya om!
Setelah itu kami
pun saling menyusuri diri masing-masing. Temanku_ Muhyi-lah yang sebenarnya sudah
lama mengenal pria ini melalui media Twitter. Melalui Twitter pula kami ketahui
mengenai kedatangannya ke kota kami, untuk menghadiri rapat Harian Jawa Post
se-Indonesia. Hanya saja aku belum paham betul mengenai riwayatnya, yang kutahu
beliau adalah penyair terkemuka yang kelak karya dan kata-katanya akan menjadi salah
satu perbendaharaan inspirasi berarti bagiku dan karyaku juga tentunya.
Jika sebelumnya
kami sering menimba teori-teori melalui buku-buku, khususnya teori sastra. Maka
itu tidak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hanya sebaris kalimat
yang keluar langsung dari tenggorokan si penulis tersebut secara langsung.
Begitulah yang kami rasakan di lobi hotel pada malam itu. Setiap kata-kata yang
disabdakan si penyair ini secara langsung bagaikan ombak yang saling
berjekar-kejar deras, berdebur-debur lalu membentang sebagai samudera ilmu nan amat
luas. Yang kami pun lantas tenggelam didalamnya. Basah oleh kata-kata. Basah
oleh gelora. Basah oleh sesuatu yang mungkin belum ada penamaan atasnya dalam semesta
pengetahuan kami selama ini.
Aku lantas
berfikir, beginikah nikmatnya para sahabat yang bersejajar duduk dengan
Muhammad mulia untuk memunguti setiap buncahan sabda yang diutarakan sang Nabi
mulia. Hingga gaungnya dapat menjadi naungan teduh sepanjang hikayat ummat. Ya Allah!
Sekarang rasa
kikuk kami mulai mencair oleh sesuatu yang panas didalam dada. Subhanallah.
Diskusi kami mengalir, sangat deras oleh dada yang meletup-letup.
Maklumlah sobat,
kami ini hidup di negeri melayu bernama Jambi. Yang amat sulit menemui
orang-orang inspiratif seperti beliau ini. Bisa dibilang kami terjauh dari
jangkauan tangan-tangan orang-orang besar berkelas nasional.
Percakapan kami
pun berlangsung hanyut, menggelora. Aku pun tak mau rugi pada momen ini,
sehingga kuambil kertas berikut pena dan kupindai setiap kata yang keluar dari
ucapannya kedalam kertas. Beruntung sekali temanku yang mendapatkan dua buah
buku berbubuh tandatangan dan kesan dari sang penyair. Wah, memang bukan main karyanya
itu.
Sungguh murah
benar ilmu penyair ini, tak segan-segan ia membagikannya kepada kami.
Seakan-akan tak ada yang tersembunyi dibalik kekatanya. Ditambah lagi keakraban
yang ia ciptakan kedalam perbincangan.
“seorang
penyair, harus merasakan setiap peristiwa di sekelilingnya. Kehujanan, tersesat
di hutan, menyaksikan sakaratul maut, ataupun kejadian-kejadian lain yang
mungkin disepelekan orang lain. Ah, tadi pagi saya berjalan-jalan menyusuri
trotoar di luar, betapa banyak kejadian yang dapat kita resapi. Saya sangat
menikmati semua itu. Maka jika sampai disaat kita menumpahkannya kedalam puisi,
betapa nikmatnya!”
Kami pun jadi
tahu, bahwa puisi juga merupakan refleksi , pertanyaan, dan pergelutan diri
kita dengan setiap kejadian, serta hubungan dengan mahkluk, semesta, dan Tuhan.
Yang akhirnya menjadi sesuatu yang bermakna. Tanpa kita bermaksud mencari makna
tersebut sebelumnya. Sebab makna itu akan bertunas lalu mekar dengan
sendirinya.
Ya, memang
akhirnya ada sesuatu yang kami rasakan berbeda semenjak pertemuan itu. Ternyata
puisi tak hanya bait-baris permainan kata. Tapi masih ada sesuatu dibaliknya
yang patut disibak dan diresapi, suatu cara mengerti yang amat berbeda terhadap
lingkungan semesta juga Sang Maha.
Akhirnya
waktulah yang menggesa kami untuk menyudahi perbincangan pada malam itu.
Setelah aku pamit terlebih dahulu untuk kembali lagi mengemasi peralatan di
tempat acara yang kami hadiri sebelumnya. Sebab saat itu aku bertugas sebagai
salah satu pengisi acara. Lalu aku pun berpamitan. Selang beberapa lama barulah
kemudian temanku Muhyi juga berpamitan. Sebenarnya si penyair itu telah
merasakan kelaparan sejak awal perbincangan tadi, tetapi ia bersabar. Ah, jadi
tambah tak enak hati jadinya.
Akhirnya kami
pun kembali kepada hunian masing-masing. Masih ada yang harus kami_ aku dan
temanku Muhyi _ diskusikan esok hari mengenai ini. seputar puisi tentunya. Ah, rasanya seperti seorang bocah kecil mendapat
sebuah mainan baru yang hebat luar biasa, canggih, dan liar. Perjalanan
kata-kata kami masih sangat panjang, masih banyak yang harus diproseskan.
Lelah-lelah dan luka-luka yang harus disusun menjadi titian menuju cita. Dan tak
lupa pula rasa terimakasih berjemu hingga atas segala inspirasi, bara dan ruh
bagi perjalanan kepenulisan kami kedepannya, kepada si penyair sederhana itu_ Hasan
Aspahani.
2 komentar:
Boleh nggak ikut posting puisi?
boleh dong mbak Sukma..
tapi pake proses seleksi dulu ya...
hahaha... -sok banget dehh-
:)
Posting Komentar