Kuterawangi jendela hotel yang gemeretuk
dimainkan angin. Dari lantai tujuh belas kuloloskan pandangan keluar, tampak
jauh dibawah sana barisan panjang kendaraan merayapi jalan raya, menyerupai
kunang-kunang mengantri jatah cahaya kepada bulan bulat. Meski kasur dan
selimut lembut terus merayuku, tapi kantuk belum juga sudi bertengger di
kelopak mata. Aku belum mau tidur.
Mungkin udara segar diluar sana
akan membantu menuntaskan masalah ini. Kukenakan jaket tebal, lalu turun keluar
menyusuri jalan kota berwarna oranye disiram temaram lampu jalan. Menurut
cerita temanku, kota ini punya cinderamata yang tak dimiliki tempat lain. Pun
tadi pagi Nayla kecilku merengek minta dibawakan sesuatu jika aku pulang nanti.
Tak berapa lama, akhirnya
kulihat. Di pinggir emperan toko berjajar lapak yang dipenuhi plastik-plastik
kecil gembung bercahaya. Kupercepat langkah, lalu kuperhatikan sesuatu yang digelar
di lapak-lapak itu. Ada sesuatu dalam plastik. Bercahaya teduh, cantik bukan
main.
“Silahkan tuan, pilih aja! Murah
kok!”
Banyak sekali, aku bingung. untungnyai
aku ingat jika Nayla kecilku sangat menyukai warna jingga. Sehingga kupilih
peri yang bercahaya Jingga. Akan kupilihkan satu, yang cantik rupanya lagi
terang warnanya. Namun saat kuperhatikan satu, aih, bukankah peri ungu yang satu
ini lebih mirip artis dangdut. Bajunya minim, tampangnya menor, pun tampilannya
seronok sekali. Kukira hanya manusia saja yang bertingkah semacam itu.
Lalu aku pun beralih, ketika akan
kugamit yang ungu satu lagi_ waw, yang ini wajahnya kesumat betul. Macam
pemeran perempuan antagonis dalam sinetron, yang tak dikasih jatah warisan oleh
orang tua kandungnya. Lalu semua warisan diberikan pada tokoh utama perempuan
yang berperan sebagai anak pungut dan paling banjir airmatanya, dari episode ke
satu sampai seratus tujuh puluh sembilan. Tak ah, aku tak mau Nayla mendapat
contoh buruk akibat peri-peri tak baik itu.
Di jejeran pedagang paling ujung
kulihat sebuah lapak milik seorang gadis kecil. Boleh dibilang lapaknya amat
kecil, dengan beberapa buah bungkusan peri yang jumlahnya dapat dihitung jari.
Kuhampiri lapaknya. Gadis kecil itu tersenyum, aku jadi teringat Nayla. Astaga,
peri-peri si gadis kecil ini sungguh tua-tua betul. Beberapa sudah tampak peot
dan batuk-batuk. Rambut mereka pun telah dijajahi warna putih.
“Tuan, aku jual murah saja.
Penghabisan, tuan!” gadis itu menawarkan.
Ah, ayah mana yang tak akan luluh
hatinya pada jenis ekspresi muka semacam itu. Akhirnya kubeli juga, sebungkus
peri tua yang sedang mengunyah sirih. Cahayanya agak lebih terang disbanding yang
lain, namun beberapa kali ia batuk dan meludahkan air sirih. Aku mesti
hati-hati membawanya. Kenapa baru terpikirkan bahwa perbuatanku ini mengandung
resiko amat tinggi. Ah, sudahlah.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar