Empat huruf
yang bersusun di awal kata tersebut begitu terkenal akhir-akhir ini. Jadi, tak
ada salahnya ia coba dipaparkan, diperkenalkan kembali, atau bahkan
dipopulerkan, atau mungkin juga malah diputusasakan karena barangkali –ah sebenarnya
saya tak suka dengan kata-kata pesimis- tulisan ini takkan begitu dicermati. Seperti
sebuah pertunjukan teater, di sini gayung akan diberi peran utama, namun jangan
kan penonton kursi-kursi gedung pun berbalik punggung, tak sudi menonton, -iya,
ini sudah dalam tingkatan dipesimislebaykan.
Akan tetapi,
seberapapun pecundang atau ketidakberartiannya, gayung tetaplah gayung, ia tak
mungkin dipakai untuk menggelapkan pajak, kalaupun bisa pasti akan lebih
dipilih alternatif lainnya; ember, atau bak air misalnya yang bisa memuat lebih
banyak.
Plastik,
sejauh yang selama ini saya temui inilah yang biasanya gayung terbuat, dengan
berbagai macam bentuk, ukuran dan warnanya. Selain itu di beberapa daerah
biasanya juga memanfaatkan tempurung kelapa untuk dibuat menjadi gayung. Kamar
mandi dan dapur adalah habitat alami dari benda yang satu ini.
Gayung akan
tetap menjadi gayung, dalam arti bukan masalah atau benda pokok seperti
benda-benda yang lain semisal genteng, televisi, sepatu dll. Akan tetapi di era
modern seperti ini, barangkali gayung sedikit banyak juga menjadi benda yang
ikut tersisihkan.
Sore itu,
beberapa tahun yang lalu di daerah bilangan Pondok Gede Bekasi, tepatnya di
rumah paman saya kedatangan Pak De dari Kebumen Jawa Tengah. Yang menarik,
waktu akan mandi tiba-tiba Pak De heboh saat hanya mendapati shower yang
tergantung di kamar mandi. Ia tak mau mandi tanpa pakai bak mandi dan gayung. Dan
akhirnya –setelah dicuci bersih- bak untuk rendaman cucian pakaian di pakai
untuk menjadi bak mandi.
Setelah
terlihat sedikit memerah karena marah, beberapa saat berikutnya Pak De pun
melaksanakan ritual agungnya, mandi dengan gayung. Saking semangatnya suara
jebar-jebur nya terdengar sampai ke ruang keluarga, bahkan airnya sampai
keluar-keluar pintu kamar mandi. Kami yang waktu itu berkumpul di situ tak
kuasa menahan senyum.
“Saya tidak
puas kalau tidak pakai gayung.” Kata Pak
De sambil menghisap rokok kreteknya malam itu di beranda.
Kepuasan
seperti apa? Dengan limpahan air yang banyak, efek suara jebar-jebur, atau lokalisasi
–maksud saya dengan gayung kita bisa memusatkan limpahan air pada daerah
tertentu- atau yang lainnya? Atau semua faktor-faktor itu? Ah, tentu saja saya
tak berani tanya langsung ke Pak De yang sangat disegani seluruh anggota
keluarga (baca: ditakuti).
Lain
cerita, ternyata teman kos saya waktu di BSD Tangerang pun ternyata sama, dia
rela membeli ember, menampung air dari shower baru mandi dengan puasnya. Kalau
dipikir-pikir, ternyata dalam soal mandi pun kita juga benar-benar menuntun
kepuasan, ya kan?
Tapi,
terlepas dari apakah termasuk aib orang yang tidak bisa mandi tanpa menggunakan
gayung, sebenarnya gayung akan tetaplah menjadi gayung, ia tak mungkin pakai
wig hanya agar tidak dikenali saat menonton pertandingan tenis di Bali. :)
0 komentar:
Posting Komentar