Senin, 22 November 2010

Gayung



Empat huruf yang bersusun di awal kata tersebut begitu terkenal akhir-akhir ini. Jadi, tak ada salahnya ia coba dipaparkan, diperkenalkan kembali, atau bahkan dipopulerkan, atau mungkin juga malah diputusasakan karena barangkali –ah sebenarnya saya tak suka dengan kata-kata pesimis- tulisan ini takkan begitu dicermati. Seperti sebuah pertunjukan teater, di sini gayung akan diberi peran utama, namun jangan kan penonton kursi-kursi gedung pun berbalik punggung, tak sudi menonton, -iya, ini sudah dalam tingkatan dipesimislebaykan.

Akan tetapi, seberapapun pecundang atau ketidakberartiannya, gayung tetaplah gayung, ia tak mungkin dipakai untuk menggelapkan pajak, kalaupun bisa pasti akan lebih dipilih alternatif lainnya; ember, atau bak air misalnya yang bisa memuat lebih banyak. 

Plastik, sejauh yang selama ini saya temui inilah yang biasanya gayung terbuat, dengan berbagai macam bentuk, ukuran dan warnanya. Selain itu di beberapa daerah biasanya juga memanfaatkan tempurung kelapa untuk dibuat menjadi gayung. Kamar mandi dan dapur adalah habitat alami dari benda yang satu ini.

Gayung akan tetap menjadi gayung, dalam arti bukan masalah atau benda pokok seperti benda-benda yang lain semisal genteng, televisi, sepatu dll. Akan tetapi di era modern seperti ini, barangkali gayung sedikit banyak juga menjadi benda yang ikut tersisihkan.

Sore itu, beberapa tahun yang lalu di daerah bilangan Pondok Gede Bekasi, tepatnya di rumah paman saya kedatangan Pak De dari Kebumen Jawa Tengah. Yang menarik, waktu akan mandi tiba-tiba Pak De heboh saat hanya mendapati shower yang tergantung di kamar mandi. Ia tak mau mandi tanpa pakai bak mandi dan gayung. Dan akhirnya –setelah dicuci bersih- bak untuk rendaman cucian pakaian di pakai untuk menjadi bak mandi.

Setelah terlihat sedikit memerah karena marah, beberapa saat berikutnya Pak De pun melaksanakan ritual agungnya, mandi dengan gayung. Saking semangatnya suara jebar-jebur nya terdengar sampai ke ruang keluarga, bahkan airnya sampai keluar-keluar pintu kamar mandi. Kami yang waktu itu berkumpul di situ tak kuasa menahan senyum.

“Saya tidak puas kalau tidak pakai gayung.”  Kata Pak De sambil menghisap rokok kreteknya malam itu di beranda.

Kepuasan seperti apa? Dengan limpahan air yang banyak, efek suara jebar-jebur, atau lokalisasi –maksud saya dengan gayung kita bisa memusatkan limpahan air pada daerah tertentu- atau yang lainnya? Atau semua faktor-faktor itu? Ah, tentu saja saya tak berani tanya langsung ke Pak De yang sangat disegani seluruh anggota keluarga (baca: ditakuti).

Lain cerita, ternyata teman kos saya waktu di BSD Tangerang pun ternyata sama, dia rela membeli ember, menampung air dari shower baru mandi dengan puasnya. Kalau dipikir-pikir, ternyata dalam soal mandi pun kita juga benar-benar menuntun kepuasan, ya kan?

Tapi, terlepas dari apakah termasuk aib orang yang tidak bisa mandi tanpa menggunakan gayung, sebenarnya gayung akan tetaplah menjadi gayung, ia tak mungkin pakai wig hanya agar tidak dikenali saat menonton pertandingan tenis di Bali. :)

0 komentar:

Posting Komentar