Rabu, 03 November 2010

Arisan Barisan Kata

“Mari kita bermain!” kau menyemangati diri. 

Entah terlalu banyak kata di tumpukan rak otakmu, atau terlalu kikir mengeluarkannya, kau mengaduk-aduk sebuah surat kabar yang terbit hari minggu lalu –satu-satunya hari di mana kau membeli koran-. 

Acak. Tentu saja, seperti arisan yang mengocok gulungan nama-nama dalam gelas. Dengan mata terpejam kau buat lingkaran pada satu kata di satu halaman lalu dengan acak lagi kau buka lembaran yang lain dan melakukan hal serupa.

Gemetar hatimu setiap akan mencoret, menandai acak pada sebuah kata, bolamatamu yang bergerak dalam kelopak yang tertutup, tanganmu yang terkadang ragu sehingga sering membuat lingkaran yang lebih besar dari seharusnya, lingkaran yang  mengiris beberapa kata lainnya.

Lalu. Dari satu kata yang terpilih dari satu halaman –setelah terlebih dahulu kau mengupas huruf-bagian kata lain yang menyatu dalam lingkaran- lalu kau bariskan, kau temukan dengan kata lain yang kau dapatkan di lain halaman.

Dan bahumu pun ikut berguncang tatkala kau melihat pasangan kata yang kau dapatkan;

DISTRIBUSI PRASANGKA

Terlihat puluhan truk berukuran sedang keluar dari pabrik. Dalam masing-masing baknya telah penuh ratusan tumpuk kardus berwarna hitam putih, produk Prasangka. Akan disebar kemana? Tentu saja ke daerah-daerah yang membutuhkan. Tapi penduduk yang seperti apa yang membutuhkan prasangka?

Suatu ketika salah satu kotak itu dibeli oleh seorang petani yang bingung, antara menjual separo lebih sawahnya untuk membiayai kuliah pertanian anaknya, atau mempertahankannya mengingat itu tanah warisan turun temurun keluarganya.

Kelak di kemudian hari, serombongan satpol PP dengan susah payah menarik seorang tua renta yang mencoba mencangkuli kamar tidur di sebuah kompleks Real Estate. Dengan tangan terikat kakek itu tetap meronta “Lepaskan! Aku ingin mencangkul sawahku! Kalian ini kurang ajar!! Aku ini bapaknya menteri pertanian!!”

IMAJINASI BERCORAK

Kau menato otakmu dengan gambar bunga tulip dan sekotak wadah yang berisi tissue. Dalam beberapa menit bunga-bunga tulip hitam itu menetes, titik-titik serupa embun. Tapi benarkah itu embun? Embun yang berwarna hitam? Yang benar saja.

Tiap –ya sudahlah katakanlah saja- embun menetes, sebelum mencapai dasar otakmu selembar tissue tiba-tiba terbang membentuk diri serupa merpati, lalu dengan cepat menyambar tetes embun itu dengan paruhnya yang kecil runcing. Tapi sepertinya merpati-merpati tissue itu buta, sebab tak ada satu tetespun  yang berhasil disambar.

Duhai malangnya. Serupa butiran geranat, tiap tetesan itu jatuh di dasar otakmu ia langsung meledak, mengenai dan menyerpihkan sosok merpati.

Entah rasa sakit seperti apa yang dirasakan merpati tissue itu saat meledak, tapi dari eranganmu yang pilu, aku tau kau begitu menderita.

Dan kini pun bunga tulip hitam itu masih terus menetes.

...

Kau melipat capat-cepat koran itu kembali dengan hati yang telah berubah galau. Lalu kau ambil telfon genggammu dan menelfon satu nomor secara acak. Namun tubuhmu, terlebih tanganmu malah makin bergetar hebat. Belum sempat terhubung kau sudah memutuskan sambungan telfonmu.

Beberapa menit kemudian sebuah pesan menggetarkan telefon genggammu.

“Apakah baru saja kamu memanggilKu?”

0 komentar:

Posting Komentar