“Mari kita bermain!” kau menyemangati diri.
Entah terlalu banyak kata di tumpukan rak otakmu, atau
terlalu kikir mengeluarkannya, kau mengaduk-aduk sebuah surat kabar yang terbit
hari minggu lalu –satu-satunya hari di mana kau membeli koran-.
Acak. Tentu saja, seperti arisan yang mengocok gulungan
nama-nama dalam gelas. Dengan mata terpejam kau buat lingkaran pada satu kata
di satu halaman lalu dengan acak lagi kau buka lembaran yang lain dan melakukan
hal serupa.
Gemetar hatimu setiap akan mencoret, menandai acak pada
sebuah kata, bolamatamu yang bergerak dalam kelopak yang tertutup, tanganmu yang
terkadang ragu sehingga sering membuat lingkaran yang lebih besar dari
seharusnya, lingkaran yang mengiris
beberapa kata lainnya.
Lalu. Dari satu kata
yang terpilih dari satu halaman –setelah terlebih dahulu kau mengupas
huruf-bagian kata lain yang menyatu dalam lingkaran- lalu kau bariskan, kau
temukan dengan kata lain yang kau dapatkan di lain halaman.
Dan bahumu pun ikut berguncang tatkala kau melihat pasangan
kata yang kau dapatkan;
DISTRIBUSI PRASANGKA
Terlihat puluhan truk berukuran sedang keluar dari pabrik. Dalam
masing-masing baknya telah penuh ratusan tumpuk kardus berwarna hitam putih,
produk Prasangka. Akan disebar kemana? Tentu saja ke daerah-daerah yang
membutuhkan. Tapi penduduk yang seperti apa yang membutuhkan prasangka?
Suatu ketika salah satu kotak itu dibeli oleh seorang petani
yang bingung, antara menjual separo lebih sawahnya untuk membiayai kuliah
pertanian anaknya, atau mempertahankannya mengingat itu tanah warisan turun
temurun keluarganya.
Kelak di kemudian hari, serombongan satpol PP dengan susah
payah menarik seorang tua renta yang mencoba mencangkuli kamar tidur di sebuah
kompleks Real Estate. Dengan tangan terikat kakek itu tetap meronta “Lepaskan! Aku
ingin mencangkul sawahku! Kalian ini kurang ajar!! Aku ini bapaknya menteri
pertanian!!”
IMAJINASI BERCORAK
Kau menato otakmu dengan gambar bunga tulip dan sekotak
wadah yang berisi tissue. Dalam beberapa menit bunga-bunga tulip hitam itu
menetes, titik-titik serupa embun. Tapi benarkah itu embun? Embun yang berwarna
hitam? Yang benar saja.
Tiap –ya sudahlah katakanlah saja- embun menetes, sebelum
mencapai dasar otakmu selembar tissue tiba-tiba terbang membentuk diri serupa
merpati, lalu dengan cepat menyambar tetes embun itu dengan paruhnya yang kecil
runcing. Tapi sepertinya merpati-merpati tissue itu buta, sebab tak ada satu
tetespun yang berhasil disambar.
Duhai malangnya. Serupa butiran geranat, tiap tetesan itu
jatuh di dasar otakmu ia langsung meledak, mengenai dan menyerpihkan sosok
merpati.
Entah rasa sakit seperti apa yang dirasakan merpati tissue
itu saat meledak, tapi dari eranganmu yang pilu, aku tau kau begitu menderita.
Dan kini pun bunga tulip hitam itu masih terus menetes.
...
Kau melipat capat-cepat koran itu kembali dengan hati yang
telah berubah galau. Lalu kau ambil telfon genggammu dan menelfon satu nomor
secara acak. Namun tubuhmu, terlebih tanganmu malah makin bergetar hebat. Belum
sempat terhubung kau sudah memutuskan sambungan telfonmu.
Beberapa menit kemudian sebuah pesan menggetarkan telefon
genggammu.
“Apakah baru saja kamu memanggilKu?”
0 komentar:
Posting Komentar