Di ujung aspal terik, tubuh kekar
itu mengayuh ontel karatnya yang berderit-derit, seperti hendak patah akibat
ditumpuki tiga ekor babi lemas dan kuyu. Satu yang paling besar melintang di
batang besi depan, tak ada gerakan barang sedikit kecuali moncong basahnya yang
mangut-manggut. Sedang yang dua lagi_besar dan kecil di tumpuk di boncengan.
Sepertinya babi-babi itu satu keluarga, anak beranak, atau mungkin saudara jauh.
Ah, entahlah. Dimana-mana babi memang mirip.
“Ditooo!!!”
“Ragiiil”
“Bayuuuu!”
Kami saling melemparkan nama satu
sama lain pada pria pembawa babi itu. Tanpa canggung ia pun tersenyum membalas dengan
lambaian tangan gempalnya, seperti tak ada beban.
Begitulah saban pulang sekolah, kami
sengaja menunggu si penangkap babi pulang. Sembari menebak berapa ekor babi
yang akan ia bawa pulang nanti, meski terkadang kepulangannya tak membawa seekor babi
pun. Perjumpaan dengan si penangkap babi adalah sebuah prestise tersendiri bagi anak-anak komplek.
Sebab ia sangat jarang terlihat. Pukul lima pagi ia telah mengayuh ontel menuju
hutan di belakang komplek, diikuti seekor anjing pemburu berwarna hitam penuh
kurap.
Adapun perihal nama si penangkap
babi, tak seorang pun mafhum. Menurut desas-desus, nama itu tertera dibalik
lengannya. Dibawah gambar seekor ular derik, tertera dalam goresan huruf cina
yang tak kami paham maksudnya. Dan jangan harap bisa menanyakan kepada si
empunya, selain gagu ia pun selalu menghindari berdekatan dengan orang lain.
Dunia dibenaknya hanya mengenai hutan, babi, dan ontel. Ah, satu lagi_ anjing
kurapnya. Makanya kami sering menghadiahkan nama salah satu teman kepada si
pemburu, tentunya dengan maksud menggoda si teman tersebut.
Hari berganti, bulan berlalu, si
pemburu semakin jarang menampakkan diri. Pernah dalam sebulan kami benar-benar
tak menjumpainya. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa global warming sehingga persediaan babi di hutan pun turut menipis?
Kabar-kabarnya hal ini ada
hubungannya dengan kedatangan pemburu babi lain. Pemburu babi yang lebih elit
dan modern. Mereka menunggangi hardtop,
bersenapan laras panjang, pun anjing-anjingnya tegap dan buas, tak mengidap
kurap sedikitpun. Sepanjang jalan mereka selalu menggonggongi, seperti sulit
membedakan mana babi, mana manusia. Pagi-pagi mereka datang bergerombol. Tiga
atau empat mobil. Sore hari mereka pulang dengan tigabelas babi hutan buntal-buntal
di bak mobilnya.
Seseorang yang tampaknya kapten
rombongan mereka selalu berdiri di bak belakang mobil, membiarkan kumisnya berketar-ketir
dimainkan angin. Umurnya mungkin empatpuluhan, tetapi tampak masih gagah. Mengenakan
kacamata hitam, bertopi ala koboi sembari mengigit kretek hitam. Aih, pemburu
babi mana yang lebih gagah dari kapten ini. Aku juluki ia “kapten babi”.
Lagi-lagi kabarnya, sebulan lalu
seorang penghuni komplek pernah menyaksikan si pemburu tak bernama lari
tunggang langgang diburu kapten babi beserta rombongan dan anjing-anjing
buasnya. Dan sampai hari ini si pemburu
babi tak bernama tak pernah lagi nampak batang hidungnya.
Setelah satu bulan berlalu, di suatu
pagi bulan berikutnya sepulang sekolah kami menemukan sesuatu yang tak asing.
Rasa penasaran, takut dan cemas yang berbaur-baur memenuhi benak akibat sesuatu
yang tak asing itu. Seekor anjing hitam kurap berjalan terseok-seok diatas
aspal, entah darimana datangnya. Sekujur badannya dipenuhi luka menganga
seperti daging setengah masak, ia layaknya bakal hidangan siap masak yang kabur
dari penggorengan. Di moncongnya tergantung sebuah kresek hitam penuh lumpur
kering. Ketika kami dekati, ia terbirit-birit lalu melolong di kejauhan, pilu
sekali suara itu.
Kami dekati kresek hitam yang
ditinggalkan anjing itu. Dada kami semakin gemuruh. Dengan alasan keamanan,
atau mungkin akibat takut maka kami gunakan ranting untuk mengangkat dan
membawanya ke tempat aman untuk.
Dan, aaah, saat diangkat kresek
lapuk itu sobek. Memuntahkan sesuatu yang membuat temanku menjerit-jerit histeris.
Dadaku pun tak kalah gempar memandangi sesuatu yang baru saja jatuh itu, sepotong
tangan pucat dengan tato ular belang. Dibaliknya tertera sebuah tulisan cina,
yang sejak dulu tak kami pahami artinya.
0 komentar:
Posting Komentar