Guru Anwar duduk
di kursi kayu lembab, meresapi kehangatan secangkir plastik kopi hitam yang
menjalari jemarinya. Atap seng halte bergemuruh dihujam siram hujan.
Spanduk-spanduk kain iklan rokok pinggir jalan kuyup berkibar dimain-mainkan tangan
angin.
Ia menghela nafas dalam, melirik
gunungan kacang rebus di gerobaknya belum hengkang satu biji pun. Malam ini
sepi benar, pikirnya. Ia seruput kembali satu teguk kopinya.
Kejap kemudian, sebuah sedan
merah muncul menyibak tirai hujan, mendecit didepan halte. Seorang perempuan
paruh baya lari tergopoh menghampiri gerobak kacang Guru Anwar.
“Bungkus satu mang!”
Guru anwar bangkit dari
lamunannya. Dan, Hah! Guru anwar terpaku. Ada yang baru saja didapatinya
diwajah perempuan cantik itu. Bukan dua bola mata bening didalam kelopak sempit
kuaci. Atau hidung bangir yang mencuat lancip meneduhi sepasang bibir
mungil merah pejal, berpadu dalam paras
jenjang semampai dibalut putih gading.
“Ani? Betul, Ani kan?” Guru anwar
mencampur senyum, riang, dan takjub tertahan diwajahnya.
“Iya. Gak pake lama ya”. Sahut si
perempuan sembari mengibas butiran hujan di bajunya yang berpotongan sempit.
“Oh iya, maap nak” Guru Anwar lalu
tergesa membungkus sekantong kacang rebusnya. Sembari meneruskan pertanyaannya
kembali kepada perempuan itu. Dua puluh tahun silam adalah alasan yang tak bisa
dianggap kecil untuk pertanyaan-pertanyaan Guru anwar. Sementara perempuan itu
semakin menyaru dingin batu, melakoni senyum dan anggukan yang dipaksakan mulai
menerbitkan jengah dibenaknya.
Seorang pemuda sejurus kemudian
muncul dari balik hujan. Ia menegur sang perempuan, si perempuan membantah. Bibir
mereka saling melempar gumpal kata-kata panas. Hampir terjadi pertengkaran
kecil, namun diurungkan Guru Anwar yang lagi-lagi menemui ketakjuban, dan
hysteria yang kian bertubi-tubi saat ia susuri gurat wajah pemuda itu. Tapi
bukan pada galau gelisah yang bertumpuk-tumpuk, juga bukan pada sebuah tuju tak
berhilir mengambang pada gurat wajahnya.
“Kau Budi kan?” hati Guru Anwar kini
kian melompat-lompat girang. Ia pun beralih mengarahkan aneka rupa
pertanyaannya pada si pemuda. Kata-kata yang keluar dari mulut Guru Anwar
berlomba-lomba dengan hujan yang kian deras bergemuruh. Dan bungkus kacang
rebus yang digenggamnya pun makin lompong tak memiliki dasar.
Sembari itu, si pemuda yang juga jengah
kemudian mengangkat panggilan dari handphone-nya.
Suara di ujung sana tampak memaksa, mereka lalu saling berteriak hingga
akhirnya si pemuda melempar benda mungil itu kedalam got yang meluap. Ia lantas
bergegas menarik lengan si perempuan yang balik memaki-maki tak jelas hingga
suaranya ikut masuk kedalam sedan merah yang kemudian menderu.
Guru Anwar terpaku mengikuti laju
sedan merah yang sudah dikaburkan tirai hujan. Ia masih menggenggam bungkus kacang lompong yang belum
dirampungkannya, menggeleng-gelengkan wajahnya yang senyum.
Ah, duapuluh tahun silam tentunya
tak akan pernah sama lagi. Tiap masa tentu punya jatah masing-masing, datang
pergi silih ganti-mengganti. Tapi Guru anwar lebih senang mengingat masa
duapuluh tahun silam, terutama mengenai anak-anak didiknya tadi_ Budi dan Ani.
Dua murid teladan bimbingannya, yang dulu berlangganan juara cepat tepat di
kantor Diknas provinsi, merangkap juara siswa teladan tingkat nasional di tahun
yang sama. Maka demi mencontohkan prestasi mereka kepada siswa-siswa di seluruh
provinsi khususnya dan negeri pada umumnya, diabadikanlah nama mereka oleh
pemerintah dalam buku cetak yang dipakai di sekolah-sekolah. Bukan main
bangganya Guru Anwar kala itu. Sehingga selalu ada perasaan yang membuncahkan
semburat warna saat ia membacakan buku cetak yang terdapat nama kedua murid
bimbingannya itu didepan kelas.
“Ini Ibu Budi…Ini Ayah Ani…” ucapnya dalam airmata.
0 komentar:
Posting Komentar