Kamis, 16 Desember 2010

KISAH KEDAI

Pagi ini aku sudah berperan sebagai kompor, yang menjilati jerang punggung panci. Tapi kau belum juga terlihat, sobat. Biasanya saban pagi kedatanganmu senantiasa lebih dulu.

Di dapur ini hanya ada aku dan Inang yang hati-hati menyunting telinga panci dari kepalaku. Dengan mata sepuhnya yang picing diusap asap, ia tuang didih itu kedalam gelas belimbing dengan bubuk kopi dan satu setengah ciduk pasir tebu didasarnya.

Cangkir pun bergolak. Cairan panas hitam kental menjalari rongga badannya. Layaknya perut gunung yang hendak muntah. Tentulah dalam hal itu kau begitu sakti, hai gelas belimbing. Atau memang sudah kepandaianmu meredam jerit sakit yang sesungguhnya telah dinalurikan pada tiap mahkluk.

Inang kemudian mengudak perut si gelas belimbing. Air berpusar, uap harum berpilin-pilin. Tiba-tiba “wuuuisssh!” sebuah hembusan menyibak uap lalu tercebur larut kedalam gelas.
Ah, itu pasti kau! Kau yang selalu tanpa kata, kau yang selalu tabir, kau yang hadirnya selalu menjadi penantian bagiku. Ternyata peranmu hari ini adalah sebagai segelas kopi manis. Baiklah, apapun itu aku bahagia. Sangat bahagia, dan senantiasa akan begitu adanya.