Kamis, 29 Desember 2016

Kawitan - Kejatuhcintaan yang Sapardi





Dua tukang pos
saling menirim kabar
dan angin menrbangkannya

Buku kumpulan puisi cukup sulit dicari, belakangan ini (atau mungkin malah dari dulu). Di antara ratusan rak di toko buku besar, tidak ada satupun yang diberi label kumpulan puisi. Wal hasil puisi seringkali nyelip di antara rak fiksi. Di antara sedikit buku puisi yang terbit itu lebih sedikit lagi yang bagus (baca: sesuai selera saya). Namun karena didorong oleh rasa dahaga yang sebegitu keringnya akhirnya apa aja buku puisi itu saya beli (dengan pertimbangan label harga dulu tentunya...).

Termasuklah buku kawitan ini. Saya bahkan tak membaca satupun puisi di dalamnya sebelum mengantarnya ke kasir. Kali ini saya percaya kepada dewan kesenian jakarta yang telah menyematkan predikat juara II pada buku ini tahun 2015. Dan ternyata Ni Made Purnama Sari yang umurnya di bawah saya ini karyanya sungguh menajubkan. Keluarbiasaan itu antara lain.


1. Purnama, begitu Putu Fajar Arcana memanggil penulis ini, sangat pandai dalam mengolah kata-kata dalam bingkai cerita keseharian. Lembut ringan mengalir tapi jauh dari klise. Seperti puisi Lewat Rotterdam Tengah Malam, atau bahkan kejadian biasa seperti masuk perpustakaan dalam 'Perpustakaan Kampus' . Kumpulan puisi ini jadi semacam catatan harian/perjalanan tapi penuh dengan penghayatan mendalam dan berhasil mengambil sudut pandang yang unik.

2. Dalam catatannya, baik Putu Fajar Arcana, Jean Couteau maupun Dewan Kesenian Jakarta yang diterakan dalam buku ini tidak ada satupun yang menghubungkan Purnama dengan Sapardi. Entahlah bagi saya saat membaca buku ini tidak bisa mengelakkan bayangan sapardi. Bukan berarti Purnama mengikuti gaya sapardi, tapi bagi saya, dia berhasil membuat jalur tersendiri dalam wilayah puisi 'sederhana'. Jalur di tengah antara Sapardi dengan puisi-puisi klise kebanyakan yang bertebaran. 

3. Jika sapardi -yang saya baca- lebih/cukup banyak puisi yang bertemakan cinta (sepasang kekasih), Purnama justru terasa jauh dari tema-tema yang mengarah ke sana. Ini yang tambah membuat saya salut. Tema percintaan sangat dekat dengan perasaan (atau bahkan ia adalah jantung perasaan itu sendiri) jadi akan lebih mudah untuk membuat puisi cinta yang menggetarkan ketimbang puisi dengan tema lainnya.

4. Kelancaran tutur Purnama juga tidak bisa dielakkan. Puisinya terasa begitu mengalir tapi masih dapat dilekuk-liukkan menjadi peristiwa ataupun simpanan makna yang artistik. Dalam visualisasi saya Purnama seperti seorang pendekar yang tidak hanya mampu membuat aliran air sungai menjadi air terjun tapi membuat air -yang biasanya jatuh dengan sendirinya- itu menari dalam komposisi sebelum jatuh memecah bebatu atauh bahkan meledak dalam genangan air.


5. Saya rasa Purnama telah menemukan gaya tersendiri dalam kepenulisannya dan telah menemukan suatu pola dalam proses kreatifnya. Ini penting bagi seorang penyair untuk bisa produktif falam berkarya. 


Saya sangat bahagia mendapati buku ini, yang mampu menjembatani antara buku-buku karangan para penyair favorit saya yang terasa sangat berkutub-kutub. Sapardi, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, Nirwan Dewanto berada di empat penjuru mata angin. Puisi purnama ini, bercahaya di tengah-tengah mereka.










serunay ~2




Langit dan udara tak mencatat
Jejak kepak kepergian burung-burung
Agar sepasang mata dapat melihat
Jantung hatinya kala dirundung mendung

Rabu, 28 Desember 2016

serunay ~1




foto dari @instagram @

kesunyianmu abadi dan cantik
mengisi jeda
antara detik
dengan detik berikutnya

Selasa, 27 Desember 2016

Di Kotamu


Di malam hari 
Kau padamkan
Sumbu yang membakar 
Jantungmu dengan sabar 
Agar kunang-kunang 
Yang duka semasa
Menerangi tidurmu
Yang luka semata


Di reruntuhan pagi
Matahari bangkit 
Mencari kaus kaki 
Sebelah kiri 
Agar waktu 
Melangkah 
Tak melulu
Jejak darah 

Di julang siang
Cabaran hanya 
Dentuman pertama 
Setelah itu
Tak ada beda
Ranting pelepah
Dengan cabang silsilah 

Di kotamu
Angin yang berpusaran
Dan segala yang berguguran 
Adalah sebahagian kebahagiaan 
Menghalau halau kemarau 
Yang berjalan terlalu pelan 
Menuju hujan 

Di ujung senapan

Jumat, 16 Desember 2016

Hujan




aku daratan 
menampung
seluruh hujanmu

sampai ia
menyentuh dasar
langitmu

Kamis, 15 Desember 2016

Kaulah Keinginan dalam Dadaku




Kaulah keinginan dalam dadaku
Tiap kali aku merasa sesak
Aku berharap itu kau jua
Yang sedang memenuhi
Keinginanku
Dengan apa saja
Termasuk batu-batu
Dari jalan jalanmu yang jauh

Selasa, 13 Desember 2016

Hujan yang Tajam


Hujan yang tajam bisa saja menggali kepalamu dan membenamkan bijiannya. Anggrek bulan ataukah kembang sepatu? Di kepalaku tumbuh sebidang rimba. Dedaunnya berpanjang waktu menyalin setiap musim yang kau kirim. Tanggal melayang menjadi kelopak kelopak hitam. Berserak hingga jerambah mimpi.

Hujan yang tajam bisa saja menenggelamkanmu. Maka kugembalakan domba-domba hitamnya di ufuk jauh. Sampai tak kudengar ujung sepatumu di bisik angin. Di padang-padang terjal sekawanan serigala badai datang membantai. Darah hujan wajahku. Menyesaki setiap celah ingatan. Membeludak hingga bilik-bilik jantung.

Hujan yang tajam bisa saja patah melulu. Manakala menghunjam kepalaku dalam terlalu. Sebab di gelap itu ada arus sunyi yang beribu kepada batu batu. Yang tak jarang gelombangnya menghempas tiba-tiba. Rumput rendam. Ranting tak berpenggenggam. Remah remah kelopak hitam. Segala yang berpenghidup dan berperedup di kitaran dedua danau mata.

Siang di Serengeti



Numangga mengulur cakarnya
Seperti akar tua terantuk batu
Sementara satu satu anak pinaknya
Tersapu Serengeti angin
Sebagai mangsa yang lain

Numangga menghunjam jantung buruannya
Tapi terlalu bising hingga
Keciprat darahnya memekik
Di pasang-pasang telinga Hyena

Numangga runduk
Mundur ke sebalik semak
Nunggu matahari jatuh tinggi
Barangkali bulan nanti
Masih berkenan pecah
Dan memberinya seteguk darah

Telur Mata Sapi

                                                        ~ND

Aku tak pernah tahu jika yang kau pinta selalunya adalah setengah matang. Seperti matahari yang nyangkut di ujung pagar pukul tujuh pagi. Di mana kesetiaan belum sarapan dan memakai kasut dengan tali yang berikat tekat

Bulat jingga yang kau sangka semuram rembulan itu cumalah suka ria yang sederhana sahaja. Yang tidak disukai gerigi sepi. Yang takkan hadir dalam satu meja bergenap cakap.

Maka dari piring hitam pagi ini aku memindamu seperti ingatan daging putih akan lelidah api . Seperti irama pasir yang bersesak setiap ombak yang bertolak. Seperti lapar dahaga.

Kau tak pernah setelah

Minggu, 10 April 2016

Cinta Salah Sangka

foto dari instagram @10_ya

Suatu hari seorang jelita, sebut saja bunga
Merundukkan hati ke hadapan seorang rupawan
Kata bersambut dan bunga erat dalam genggaman
Hingga pada suatu senja dalam cahaya tak seberapa
Terlihat olehnya ada lain tergenggam mesra sang puja

Semakin hari semakin hatinya terasa sakit
Seperti ribuan semut berkerumun mencubit cubit
Hingga pada suatu pagi dalam upaya meredakannya
Diminumlah itu racun serangga


Hatiku tak Pernah Pergi

foto dari instagram @muenchmax

Hatiku tak pernah pergi
Kecuali mengambil beberapa dari
Reranting tua yang jatuh patah kepada
Tanah. Lalu bergegas pulang berjaga jaga
Jika saja kau tiba-tiba sampai dalam ketukan
Dan kemudian pergi sebab tidak juga
Daun pintu terbuka

Setelah usia penuh pucati dinding
Dan hijau melumuti daun pintu
Hatiku bahagia mendapati dirinya
Lumpuh seluruh tak bisa kemana
Tak perlu buru buru mencari kayu
Tepian hutan yang kian jauh
Terhalang halang tunggul punggur
Yang makin berpuluh penjuru

Pada detik yang keberapa saja
Senantiasa akan engkau dapati
Berpeluk sendiri hatiku tunggu
Di depan diam dan padam tungku




 






Jumat, 08 April 2016

4/7

foto dari instagram @evakosmaflores



Sebutir jeruk tidak memiliki pretensi untuk bergincu lebih kuning dari pulasan bunga matahari

Sebutir jeruk tidak memiliki kekakuan hati mangga mana lagi selain beberapa rongga untuk menyimpan rahsia

Sebutir jeruk tidak mengesampingkan cahaya ataupun gelap hanya yang mengajaknya bicara. Tidakkah kau lihat kening kenangnya kerut belaka?

Sebutir jeruk tidak menyampaikan apa apa saat berpapasan dengan peri hutan di pertigaan mimpi

Sebutir jeruk melenggang di jalannya sendiri. Senyum yang melawan pucat dan ringkih.

Sebutir jeruk akan sampai pada perasan, perasaanmu. Mungkin ada sesuatu yang kemudian kembali berbayang di benakmu.


Selasa, 05 April 2016

Sedikit

foto dari instagram @ckos5



Di depan kasir pasar kecil
ia membuka dompetnya
Menerima kembalian dan
Membalas senyuman

Di antrian stasiun
Sambil berdiri ia merampungkan
Beberapa sketsa wajah di matanya
Sampai tangannya meraih tiket
Dan bertukar pandangan

Di dalam kereta
Ia berdiri di dekat pintu
Berhimpit tubuh tubuh
Tiada ruang sedikit longgar
Kecuali sesekali menutup mata

Di mulut gang
Suara teriakan bocah-bocah
Bertingkah seperti sprinter
Gegaris kapur putih tak lurus
Dan start finish yang ditulis
Seperti terburu-buru

Di kamar jendela terbuka
Sinar matahari tinggal beberapa tetes
Tergelincir di dedua daun matanya
Esok ia akan pulang lagi naik kereta
Dan antri di loket nomor dua

Jumat, 01 April 2016

Sejak Engkau Menikah

foto dari @jesuso_ortiz




Sejak engkau menikah
Dengan lelaki yang lebih dahulu meminangmu
Aku tahu kau masih, dan atas perkenan-Nya
Terus mencintaiku. Meskipun kini ada lelaki lain
Yang senyum hingga sedihnya turut mengatur
Seberapa debar jantungmu bekerja. Dan engkau
Pun tahu sekali-sekali aku tiada berkuasa
Untuk membenci lelaki itu

Sejak engkau menikah
Tiada sehasta pun aku bersangka, bahwa duniaku
Sebegini kecilnya. Takkan jauh beranjak dari
Seputaran dua bulat matamu. Yang sampai kini
Masih saja menjadi alam raya. Padahal dulu
Di depanmu. Aku hanya berani memandangi
Ujung-ujung kerudungmu

Sejak engkau menikah
Kau semakin sering bersolek. Meskipun kini
Engaku sudah jarang lagi mematut diri
Di depan kaca, Pangeran kecilmu bersegera
Menarik lenganmu dengan rengekannya
Minta kau sebutkan lagi nama-nama segala
Si.. nga.. Tinga! Lantang lidah yang masih tunas itu
Lalu serta merta kau merimbun oleh tawa
Memantul dari cermin itu, berpendaran
Lebih kilau dari kuntumkuntum anggrek bulan

Sejak engkau menikah
Tidak banyak yang aku perbuat untukmu
Selain menyalin sajak dari buku-buku tanganmu
Telapak doa. Semoga yang Maha Pemurah
Menghadirkan lagi lelaki lain, perempuan lain
Atau bahkan kembar lelaki dan perempuan
Dari senyumanmu, sayang

Kamis, 31 Maret 2016

Jika yang Kau Pinta Seluruh Sungguh

foto dari instagram @shortstache



Aku hanya bisa mencitaimu
Sekejap - sekejap sahaja
Itupun tanpa jeda

Rabu, 30 Maret 2016

Putih

foto dari instagram @evakosmaflores




Butuh sepasang tahun yang dekat, agar
Malu malu nuraninya mahu juga, terungkap
Seperti selimut putih yang jatuh mekar
di lantai kamar

Di antara jalan raya dan saluran berita
dalam kepala saya, kuntum-kuntum Actaea
Melipat-lipat bilang dan senyum meraya
musim salju mereda

Yang bermahkota kuning
saya menanamnya
Yang seluruhnya putih
ditanam pemilik rumah sebelum saya
Yang kelopaknya lebih lebar
  milik tetangga lelaki tua sendirinya


Tiap pagi kini, telinga saya dengar
Mereka bernyanyi, hingga berpasang tahun kemudian
Saya mendengar matahari, kamar, koran, kepala
dan televisi berwarna putih, putih yang lebih lebar

Saya mencatat semua bait putih lagunya
Untuk saya bersenandung sendiri pada tahun
tahun yang ganjil, tahun yang semakin gigil
selimut yang sering tanggal

dan masa menanam yang kian dekat

Minggu, 20 Maret 2016

Tanya

foto dari instagram @stepsitake



Angkatlah tanganmu dan ajukanlah
Pertanyaan. Pikiranmu yang mengambang
Tidak akan menyampaikanmu
Ke mana-mana

Sisiklah tubuhmu menjadi sepenuh
Anak kalimat yang menyelam penasaran
Rasakan betapa gatalnya merah langit
Langit mulutmu. Dan ketika sekelibat saja
Kau lihat mata kail itu. Gengamlah erat
Mulutmu. Dengan tubuhmu begitu
Sempurna sebagai kalimat tanya

Begitulah para leluhur menjadi besar
Dengan kedalaman. Dedaging umpan
Mata kail yang menyentak. Dan meski
Beberapa kali jawaban mengosong di udara

Sekarang turunkanlah tanganmu
“Apakah aku mengerti?”

Selasa, 02 Februari 2016

Alhambra

                                  nic

Jika aku membikin gerak pada
ujung-hujung kelingking malam
aku ingin itu sekelam memujamu
saat batu-batu di dadaku mengikuti
ke lebam Granada yang membiarkan
kau terikat di puncak alhambra

Jika aku ingin berdiang dari
bekunya rambu-rambu menujumu
aku hanya ingin bersedekap
di balik hitam jubah tukang cukur
bernama depan juan, di belakang
kepalaku dia buat sayatan kecil
hingga rembulan merah terpangkas
segerombolan banteng menyerbu
jantungku seperti sejarah darah
mengalir ke puncak alhambra

Sabtu, 02 Januari 2016

Hal-hal yang Terlalu Picisan untuk Sebuah Puisi

/1/
Setelah aku menyerahkan hatiku padamu
Aku tidak bisa menyerah lagi

/2/
Aku tidak cemas dengan kapan perjumpaan, aku hanya khawatir
Saat kau datang nanti, kesendirian ini sudah terlalu besar
Untuk dirobohkan

/3/
Jangan khawatir, sikapmu hanya akan melukai hatiku,
tidak membaliknya menjadi benci, peganglah janjiku

/4/
Mencintaimu seperti memelihara matahari di kepalaku
Terik melulu dan tak pernah berkedip walau sebiji waktu

/5/
Cintamu adalah tekadku, segala pendirian dan kesendirianku

Jumat, 01 Januari 2016

Lego

foto dari instagram @wondersherif



kok ya yang disatukan itu hati dulu
senyuman yang senyaman sofa kafe di Kemang
bujursangkar bersisian merekatkan
percakapan dan janji bersinambungan
akan membentuk apa setelahnya
jemariku tak punya tahu siasat upaya

apakah kehidupan yang kita susun ini 
ialah pecahan dari dunia utuh sebelumnya
kita hanya menyusun kembali
menjadi bentuk asal mula, tanyamu

yang aku tahu kemudian
kau hanya lebih suka membongkar rakit
menjalani bentuk bentuk baru
rumah, pesawat hingga monster ungu
segala sesuatu meski di dalamnya
tiada kutemu lagi bentukan hati kita