Rabu, 30 Desember 2015

Dunia di Luar


foto dari instagram @1x_photo_gallery



Seorang kakek berjenggot putih telah memahatnya
Matahari menjadi gajah merah jambu bergading susu
Seorang pejalan kaki menaruh kelereng di mangkuk pengemis
Kelontangnya mengubah pengemis di penjuru kota pecah gaduh
Menjadi ribuan burung elang bercakarparuh tajam
Angin kemudian koyak moyak dan menyadari
Bahwa ia dilahirkan sebagai seorang ibu
Hingga selembar daun jatuh begitu lama ditimangnya
Luruh seutuhnya sebelum sempat menyentuh tanah

Tidakkah kau ingin membuka jendela pintu
Dan sedikit beranjak dari kediamanmu?

Sabtu, 26 Desember 2015

Maple

foto dari sini


Si pemuja pohon-pohon gugur maple ini
Sepertinya memperoleh ganjarannya ketika
Betapa segala kemilau kuning jingga dedaunnya
Luruh seluruh di pelataran jantungku
Manakalaku menyentuh ujung kelingkingmu

Derita yang dialami pepohonan maple
Menghadapi musim gugur menjadi tiada kentara
Mereka hanya menyeret warna hijau
Dari ujung-ujung daun ke ujung akar
Dan merasai betapa satu persatu
Angin tenggara menyayat seluruh ranting
Jatuh daunya bergelimang melunas duka

Seperti rindu yang kemudian tumbuh
Di tubuhku dan menjulang hingga 125 kaki
Daun daun memberkati dan memberati saban hari
Hingga musim berlalu namun tiada satu jua
Guguran dari cecabang rantingnya

Meskipun anginan lengang datang penuh sayatan
Meskipun di mataku selalu kubayang-bayangkan
Ujung kelingkingmu

Jumat, 25 Desember 2015

Apa Kabar

dari instagram @emanulesmedbal


Saat aku tak menghubungimu
Bukan berarti aku tak rindu
Aku hanya melatih-latih diri
Untuk tidak selalu bergantung
Kepada hadirnya apakabarmu
Dan ini pun tiada berarti aku
Menyayangimu separuh hati

Aku cinta padamu, kau tahu itu
Maka aku mesti berkuat hati
Jikapun esok siang semakin panjang
Dan malam-malam semakin lengang
Semakin jauh dari apakabar

Jumat, 18 Desember 2015

Menyisih Bukit


dari Instragram @spatari


Sedemikian jauhan angin
Meniupmu hingga celahcelah andesit
Memulas perasaan yang terlalu lekas
Beranjak dan menyimpan telapak
Jejakjejak yang kau peram

Dalam dingin
Kangen ini terlalu kekal
Berbaurlah dengan kerumunan
Ternak dan domba berjejalan
Berkawan-kawanan
Ternak-ternak yang lebat
Mengembik mencari rumput
Di ujung sepatumu

Bukit ini sedang tumbuh
Dengan segala yang mendekat
Saat domba-domba pulang kandang
Periksalah kembali
Tendamu yang redup sendiri
Dari persaan-perasaan
yang begitu ingin

Kau lupakan

Kamis, 26 November 2015

Nyanyian Hujan

dari instragram @decubung
Kau menyentuh lagu itu seperti
Uap kopi yang terangkat ke udara
Kau tahu dalam bait bait yang dingin
Secangkir ingatan mudah saja 
Berpusar dan menyerbu mata

Hitung lagi bebilang hari  
Aduhlah sayang telah menghilang
Kau tahu kabut telah merenggut
Apa yang selalu gagal kau rebut
Memasihkah kalbu bertahan
Dengan nyayian yang dikenangkan

Sejenak selepas tandas hujan
Embun embun akan pecah
Di penjuru ladangmu hiraukan usah
Di jauh kabut akan selalu merenggut
Di dekat matamu aku selalu lekat





Rabu, 25 November 2015

Jatuh Tinta


Perpustakaan UI Depok


Agung ataukah semenjana? Tulus atau berharap sesuatu? Dibuat-buat atau benar tumbuh dalam hati? Adalah pertanyaan yang sering berkenaan dengan cinta. Dan bagi saya tak dapat untuk membagi jawab atasnya. Bukan cuma tak dapat, meski dipaksa berkata pun akan menjadi bias. Sebab saya tak tahupun suara yang keluar itu apakah dari hati, atau yang lainnya.

Maka saya menyerahkan kepada waktu untuk mengusahajawabkan

Dalam rentang yang lama saya terbiarkan. Dibebasnya saya untuk tetap bersetia atau sebaliknya. Disibuk-sibukkannya hati dan fikiran saya terhadap beraneka perkara. Hari, pekan, bulan hingga tahun berbilang. Hingga saya lupa. Hingga saya lena.

Teryata saya bisa berlepas atasnya. Saya dapat berdiri hati di luar tapal batas apa yang disebut dengan daratan rindu atasnya. Ternyata cinta ini hanya semenjana, ternyata dulu saya berharap sesuatu, ternyata ini hanyalah perasaan yang saya buat-buat.

Dalam satu sore yang biasa saya berseduduk dengan para mahasiswa di perpustakaan. Wajah-wajah yang berasyiktekun dengan lembaran-lembaran. Dari sekian banyak kesadaran saya merasai kepala tertunduk bertumpuk beban. Tumpukan tugas yang mesti saya lunasi dengan berjild-jilid buku. Di tengah mencari rujukan bacaan di antara rak-rak yang panjang dan tumpuk ada sesuatu yang menggerakkan kaki saya.

Dan matapun tak mampu mengelak dari terbelalak tatkala bertemu pandang dengannya.
Saya sadar penuh bahwa ini adalah tempat yang salah. Semestinya saya  berada di sela buku bersampul teknologi konstruksi dan semisalnya. Tapi hati saya kepalang riang. Naskah-naskah puisi dan ceritera zaman lawas. Saat semaian bahasa sedang tumbuh seranum-ranumnya.

Tiga buku kemudian pulang dalam tas punggungg. Bersatu bersama buku enjinering dan satu buku puisi yang selalu saya bawa kemana pergi (meski amat jarang saya membacanya). Lalu saya kembali ke laman blog ini. Sejenak terasa seperti kembali yang tak pernah mampu pergi. Meskipun saya menyadari dengan pasti bahwa saya akan kembali berkelana. Dan akan sering hidup dengan biasa yang jauh dari rentang ranting teduh bahasa. Hari-hari berjerat angka-angka dan silogisme, serta sekian sehimpun ambisi hidup yang menyesaki dada.

Saya masih belum berani bilang bahwa ini cinta. Cinta sejati sendiri sejatinya satu, tiada berbilang.

Maka saya kembali menyerahkan kepada waktu untuk mengusahajawabkan, adakah saya jatuh tinta?

Sabtu, 08 Agustus 2015

Labirin


Di hari yang panjang kami memakai topi hijau tajam, seperti muka daun tomat di dahan yang paling pendek. Bayangannya menyentuh langkah kaki-kaki kami yang kecil tak berkasut. Hari tak berusai. Hingga kami bisa melakukan semua kegiatan. Termasuk mengulangi hari itu dengan panjang yang bahkan lebih panjang. Di hari yang kami ulangi itu. Langkah kaki kami semakin kecil hingga tumbuh kaus kaki beraroma lumut. Selama hari kami bernyanyi. Menyambung lagu-lagu yang panjang. Begitu panjang lagu itu sehingga kami bisa menyelipkan puisi-puisi. Ketukan-ketukan lambat. Dengannya kami bisa bernafas panjang. Cukup panjang untuk kami berlari tanpa kehabisan nafas. Dengan mengurangi lari kami punya lebih banyak nafas. Semakin pelan semakin banyak nafas. Sampai kami merasa begitu cemas akan kelebihan nafas. Dengan banyak nafas kami memakai topi yang lebih hijau dan berjalan di hari yang lebih panjang. Hari yang begitu panjang. Hingga kami bisa melakukan semua kegiatan. Termasuk mengulangi hari itu dengan panjang yang bahkan lebih panjang...  

Rabu, 29 Juli 2015

Perjalanan ke Selatan

Diam-diam masih saja kuikuti
Perjalanan ke Selatan
Menyibak pagi yang layu
Dan senja yang jatuh kelopaknya
Jejak-jejak seperti kening bayi yang dingin
Lembut meninggalkan masa harumannya
Menanggalkan bekal-bekal
Dari tubuh yang semakin berat hasrat
Semakin lambat seoknya
Saat matahari mengencangkan teriknya
Peluh di lengan pergi duluan
Menuju tiada