Senin, 31 Oktober 2011

Ada yang Lain di Langit Sore Tadi (Menjaring Pelangi)



Me ji ku hi bi ni u! Me ji ku hi bi ni u! Me ji ku hi bi ni u! Me ji kom bibi kokom! Halah... Iyap pe la ngi! Sebagai sebuah fenomena alam seharusnya benda lengkung yang satu ini enggak sesulit meteor atawa bintang jatuh dalam hal menjumpainya. Cukup taburan hujan di atas hamparan bumi yang telah direbus matahari setengah mateng, lalu nongollah itu si pelangi.

Anehnya, kita amat jarang bisa mendapatinya bertengger di langit cerah selepas hujan. Setidaknya bagiku. Mungkin karena usiaku  yang masih teramat belia ini (jiaahhh) yang menyebabkan masih jarang menemui pelangi. Terakhir beberapa bulan yang lalu saat ada kunjungan kerja ke Kuala Tungkal (adakan fotonya terpampang di blog ini?)

Kembali ke hujan. Dari sekian ribu atau bahkan juta hujan hanya sedikit yang bisa menghasilkan pelangi. Kalau mau tau lebih detail secara ilmiah mengapa hal itu terjadi sila pada gugling aja ya... (hihi... penulis yang males).  Nah secara mengezutkan sore ini selepas dibebaskan dari penjara guantanamo (baca: pulang kantor) tiba-tiba pandangan mataku kepentok sama pelangi yang aduhai itu.

Begitu terlihat pelangi secara refleks aku merogoh bb di kantong, tapi sebagian otakku (yang Alhamdulillah masih waras) segera membentak “Woy, kamu masih di atas motor! Lihat jalan! Jangan jelalatan!” Fiuhhh...  untung saja. Padahal pelangi ini pertama terlihat pas nyeberang jalan yang lagi rame-ramenya.

Wal hasil perjalanan pulang kantor ini bener-bener jadi enggak konsen. Pelangi itu demikian berkilaunya di atas sana. Tau kan gimana cerahnya langit sehabis hujan? Terus di antara kecerahan itu ada selengkung warna-warni yang bertumpuk alangkah indah dan besarnya. Mana ada tukang tambal ban yang bisa ngewarnai langit sebegitu hebatnya cobak!

Meski sebegitu menterengnya pelangi itu, etaugak setelah aku lihat sekitar orang-orang berjalan lalu lalang dengan amat biasanya, seperti tidak ada satupun kejadian istimewa yang terjadi. Apa mereka semua tidak bisa melihat ke langit?

Tiga gadis kecil (kukira mereka kelas empat sd) berjalan beriringan sambil bercanda tanpa terlihat sedikitpun menyinggung soal pelangi. Penjual buah, tukang siomay, tukang bakpao, segerombolan anak-anak yang lari sore di depan GOR, pengendara motor, mobil-mobil yang antri di lampu merah, semua, iya semuaaanya seperti gak sadar kalau ada pelangi. Saking geregetannya sampai-sampai aku pingin turun dari motor dan plak! Plak! Plak! Namparin mereka satu-satu “Mata kalian di taruh mana! Itu ada pelangi segede gitu enggak pada lihat!” Namun tiba-tiba terdengar bisikan di telinga kananku. Tanduk di kepala pun susut kembali. Hihi...

Dari sepangjang perjalan pulang yang kurang lebih sejauh enam koma lima kilo meter sempat beberapa kali berhenti untuk mengambil gambar. Gambar pertamanya gini massaakk.


Ini di tanjakan sebelum asrama haji (sampe-sampe hampir nabrak mobil lho waktu mau berhenti di sini.. haduhhh)


 Ini di daerah pasir putih, hayoo tebak di sebelah mana?


Dan iyyyaaakkkk! ini lah masterpiece (kepedean) kita kali ini.


Oke, sampai jumpa pada postingan berikutnya ya. Seperti pelangi; tetaplah berwarna, tetaplah mempesona dan tetaplah melengkung (lho?)

Jumat, 28 Oktober 2011

MATA HARU

Sebab meneteskan airmata
Adalah separuh upaya
Menetaskan cinta
Dari cangkang kepedihannya….

Suara derit itu sungguh lemah sebenarnya. Tapi matanya mengatup kencang karenanya. Suara gesekan ujung kaki kursi dengan lantai kayu itu seperti tengah berupaya mewujudkan suara hatinya. Derit kecil namun terasa menggedor-gedor telinga, menjadi getaran yang makin menjalar ke sekujur tubuhnya.

Jika rindu adalah wilayah kekuasaan. Kini ia sedang benar-benar telah menginjak tapal batas. Seperti kaum yang terusir maka mulai hari ini ia sudah terhapus dari keberhakan merumahkan hatinya pada sebuah perkampungan rindu.

Lalu adakah salam perpisahan itu? Itulah yang hendak ia temui di tempat ini. Tempat disegerakannya sebuah pertemuan yang tak lain hanya menyegerakan perlamunan. Semesta pengandaian yang hanya terisi oleh beberapa butir debu cinta kasih dan sayang.

Dengan amat kaku tangannya mengulur ke gagang cangkir di atas meja. Beberapa saat kemudian dihirupnya secangkir hot chocolate itu dengan perlahan. Dari uap yang mengepul tipis itu sekelebat bayangan muncul dan makin mengentalkan wujud di hadapannya. “Ah jadi kau juga suka hot chocolate ya? hemm... kalau gitu kau termasuk orang paling beruntung di dunia karena bisa sampai di sini. Juara banget rasanya!” “Sebenarnya baru-baru ini saja, sebagai pelarian diri dari kopi.” “Pelarian yang tepat kalau begitu.”“Semoga.” “Diam sebentar...”

Sebuah lengan dengan kemeja panjang tergulung hingga siku terangkat menjulur, selembar tissue dalam genggamannya mengarah ke sudut bibirnya. Namun ketika tepat syaraf yang berada di sana akan merasakan tekstur lembut lembaran tissue, tangan itu tiba-tiba menghilang oleh getaran di meja.

BOARDING 16.30. Reminder di telefon genggamnya menyala.

Perempuan itu tergeragap. Buku catatan dan pena, serakan notes dan sebuah amplop berisi tiket pesawat di meja dimasukkan dengan cepat ke tas jinjingnya. Sebelum beranjak tanganya yang ramping sempat menarik beberapa lembar tissue. Sambil berlalu diusapnya sudut bibirnya berkali-kali. Tak ada bekas noda sedikitpun.

Tiga Purnama

Kau masih saja tak bergerak saat ibu masuk ke bilikmu. Hembusan nafasnya begitu berat sebelum duduk di tepi pembaringanmu. Seolah menandai betapa berat, betapa sesak dadanya sekarang. Dada yang dulu begitu luas dan dan damai tempat separuh tidur masa bayimu dilelapkan.

Ibu menghela nafas sekali lagi, kali ini pandangannya bertemu dinding bilik kamarmu. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, di mana di situ masih menggatung sarung pedang yang telah kosong.

“Seratus tujuh puluh sembilan hari….”


****

“Kau bahagia sayang….?”

“Aku takut.”

FARO

"Menikah?! Heh?" Laras menjatuhkan putung rokoknya di lantai, mematikannya dengan menginjakkan sepatu bootnya, lantas mengepulkan asapnya di wajah Faro.
 
"Aaarrrgghh!" Lelaki berambut sedikit pirang itu mengerang. Pecahan kaca itu sudah berhasil ia cabut dari punggungnya. Ia merasa punggungnya sudah sangat basah dan lengket oleh darah. "Aku cuma ingin menikahimu, dan jangan pernah berharap aku akan mencintaimu."

"HAHAHAHAHA, kau tak akan mungkin mencintai pembunuh seperti aku!"  

Faro mematikan lampu senternya. Ruangan jadi begitu gelap seketika. Perlahan Faro mengeluarkan pisau belati dari celana cargonya.  

FALLING AND LOVE







Yak, ketemu lagi kita di 'Dibuang Sayang' pemirsa. Hehe... Kali ini foto diambil saat berpetualang di perkebunan sawit milik Ayahnya salah satu admin. Waktu itu cuaca sedang cerah, matahari bersinar terang, angin bertiup pelan dan bunga-bunga narsispun bermekaran di hamparan lensa kamera yang ranum mempesona. Alamakkk...

Selamat mengkompress mata yaaa... cuicciuuuu.....

Published with Blogger-droid v1.7.4

Rabu, 26 Oktober 2011

Sajak Negeri Hujan

;untuk ceceu'



Sembari menyesap secangkir air mata, dibacakannya sajak-sajak negeri hujan kepada istrinya, yang kelak merahimkan sebuah pagi; di ufuk bukit-bukit tabah.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Senin, 03 Oktober 2011

Menulis Cerita

;kepada H


Ajari aku menulis cerita singkat mengenai kehidupan, katamu suatu hari. Untuk menyalin kefanaan ke dalam secarik kertas, dan darinya kau belajar menyulam jelujur kisah hidup yang lebih indah dan tak lagi fana.

Lalu, kenapa kita tak menulis sebuah kejujuran saja, kataku, tentang sebuah halaman dan rumah kecil, yang tak disulam dari kefanaan?

Ah? Mendengar itu kau pun berpura-pura heran. Padahal sebenarnya telah lama kaubangun sendiri sebelah jantung rumah kecil itu, dengan tanda tiga inisial namaku tepat dimana uraturat jantung itu mesti disambung.

Lalu kenapa tak kita tulis juga sebuah pagi, kotak surat, dan seekor burung di ranting halaman itu, imbuhku, supaya kita sama tahu kemana jerih dan tabah harus beralamat?

Dan, ah, diamdiam kaupun telah menulisnya disana, sebuah pagi dan kicau burung yang memanggil-manggil tujuh hijaiyah dari bibirku, sementara kotak surat kecil di halaman itu selalu kaubiarkan terbuka.

Lalu kenapa tak kita tulis kediaman itu sendiri ke halaman yang lebih terang, untuk paling tidak menyaput kabut di kalbu masing-masing. Sampai teranglah sebuah jalan setapak, di musim yang mana rumah dan halaman kecil itu bisa bersitegak, tanpa kefanaan.