Jumat, 19 Juli 2013

Alma


Titik-titik salju jatuh bertabur di tubuh kota. Memutihkan atap-atap rumah yang tinggi. Menjadikannya seperti kepala para manula yang tertunduk dingin, putih dan renta. Padahal ini musim dingin yang biasa, salju bertumpuk dan perlahan mencair di  mana saja, tetapi penduduk kota masih saja bertahan di depan perapian. Orang-orang dewasa menenggak anggur, bernyanyi dan melanturkan cerita-cerita yang membosankan.

Seorang gadis kecil berhasil menarik diri. Menyelinap dan keluar dengan balutan baju, syal dan topi tenunan ibunya yang tebal dan hangat. Hanya bulat wajahnya yang langsung bersentuhan dengan hawa dingin kota. Namun senyum yang cerah justru terkembang di wajah itu seraya dua kakinya saling berpacu, melompat-lompat, berjalan zig-zag, membuat jejak-jejak di atas hamparan putih salju yang perlahan mencair.

Gedung-gedung yang menjulang memberi jarak selebar tiga hingga lima kali regangan tanganya untuk leluasa menjelajah kota. Ke tempat-tempat yang belum pernah ia tapaki. Yang di hari biasa jalanan itu akan penuh lalu-lalang orang dewasa yang berjalan tergesa.

Jantungnya berdegup –berdendang- riang sekali. Matanya yang biru dan kecil berputar kesana-kemari. Mata yang kini serasa memiliki seluruh kota.