Selasa, 31 Mei 2011

Kedalaman Sajadah

Doamu adalah air di kedalaman sajadahku,
dimana seekor ikan kecil tentram terjaga

Matamu yang kolam, sehijau-tua ziarah
Mendedakkan luka  mengendap lindap

Dan kututupkan mata. Kukunci rapat
Sampai ketenanganMu terkurung disana.

Mata

“Parmata begu! Iya, parmata begu anakmu itu, San!”
“Maksudnya?”
“Yaa, kau liat saja tingkahnya itu!”

Perkataan Todung kemarin masih terngiang-ngiang di telingaku, ketika ia ikut memastikan dan menyaksikan Dian, anakku yang baru genap berumur enam tahun itu asik bercanda ria dengan sesuatu di kolong kursi ruang tamu rumah kami. Dan tak lama kemudian ia pun lari ke bawah batang jambu air di halaman belakang rumah. Disana ia bercakap-cakap lagi dengan sesuatu yang seolah-olah sedang menyantapi nasi yang ia bawa tadi.
***

Senin, 02 Mei 2011

Dua Puteri Tiga Mata Dua Telinga

Kuda itu sedikit oleng saat sang pangeran menaikinya. Bukan berarti kuda itu kuda lemah, kuda itu malah kuda yang kuat dan terlihat sangat kokoh. Hanya saja kaki depannya putus, sehingga kuda itu sangat susah untuk melangkah. Dan memang kuda itu tidak berjalan. Ketika sang pangeran sudah naik, ia menggerakkan badannya sebentar, lalu terbang!
 
****
 
Rambutnya yang panjang dan pirang telah tersisir rapi. Lalu dengan hati-hati ia kenakan sebuah mahkota. Di hadapan sebuah cermin yang begitu besar ia mematut diri. Dari ujung kakinya yang telah bersepatu kaca hingga ke pangkal lehernya - yang telah berbalut gaun berwarna merah jambu- ia terlihat begitu cantik. Namun saat ia menatap wajahnya, tiba-tiba ia terkaget dan baru sadar akan sesuatu. Segera ia cari kapas kemudian digulungnya lalu dimasukkan ke mata. Tepatnya, rongga mata kanannya yang kosong.

Video Rekaman


“Lho emang bisa satu jam sampai Kalimantan?”
“Bisa dong mbak.”
“Mahal pasti ongkos kirimnya, ah.... gak usah yang mahal-mahal lah.”
“Murah kok, cuma tiga ribu lima ratus buat bayar warnet.”
“Warnet?”
“Aduh, mbak ini cantik-cantik tapi gapteknya kebangeta. Lewat internet mbak, itu lho pakai komputer.”
“Kok bisa? Ah sudahlah, mbak memang ketinggalan jaman kalau soal yang begituan.”
“Ini bukan surat rahasia kan?”

Minim

Mana mereka?!”
“Siapa?”
“Laki-laki dan perempuan yang lewat sini tadi!”
“Oh, perempuan berbaju coklat, yang bareng om-om berkaca mata hitam. Ada perlu apa?”
“Laki-lakinya suamiku, sekarang kau cari mereka! Cepat!”
Heran, punya istri secantik ini kok masih suka selingkuh.

****

“Ini, cuma ini yang kutemukan di dekat Pohon Akasia.”
“Kenapa cuma topi sama sepatu, kemana mereka?!”
“Sumpah, aku sudah cari keliling-keliling tak ketemu mereka, pakaiannya pun tak ada. Tapi memang tepian hutan ini suka dijadikan tempat mesum.”
“Jadi kau pikir suamiku selingkuh, gitu?!”
“Bub bub bukan Mbak, eh Bu, eh... aduh, maaf-maaf.”
Sejak kapan suamiku makan mangsanya beserta pakainnya sekaligus.
“Tapi memang, perempuan tadi pakainnya minim, seksi sekali.”
“......”
“Ah, tapi tetep kok Mbak jauh lebih cantik dari dia. Hehe.. Atau begini saja, Mbak istirahat dulu, sepertinya capek dan lapar. Nanti kita coba cari lagi.”
“Oke, sekarang buka topi dan sepatumu, juga pakaianmu.”
“Eh, serius Mbak?”
“Iya, kecuali celana pendekmu.”
(Sesaat kemudian perempuan itu tertawa lebar, hingga terlihat gigi taringnya yang tajam dan panjang) 

Seruling Bambu


"Pasti! Pasti aku akan menginjak-injak batang lehernya tepat di gerbang ini!"

*****

Emak masih saja tertawa geli sambil sesekali menggigit-gigit bibirnya. Mungkin agar tak terlalu terbahak-bahak. Sesekali ia bahkan mengusap sudut-sudut matanya yang berair. Entah karena mengiris bawang atau karena tertawanya itu, yang jelas aku merasa tersinggung sekali.

"Sudah ah Mak, ndak ada yang lucu," gerutu Maman sambil menggerak-gerakkan kayu di tungku.

Tapi Emak malah berdiri dan bergegas menuju kali sambil masih menahan tawa. Dengan jengkel Maman memasukkan kayu ke dalam tungku, melangkah menuju kamar dan membiarkan rebusan singkong itu menggelegak.

Di kamar, giliran Maman yang senyam-senyum sendiri sambil menggenggam seruling bambunya. "Ah, Mas Maman gantengnya." Ia mulai membayangkan bagaimana Sari -pujaan hatinya- menyambutnya nanti malam. Begitupun esok teman-temannya yang tak akan meledeknya lagi dengan julukan si raja dangdut.

Rumah Baru Seribu Peluru


Kalian pun pasti akan refleks menoleh, tatkala sebuah truk bak terbuka yang mengangkut serangkaian mebel mengerem mendadak. Lengking bunyi rem dan gesekan ban pada aspal membuat anak seorang pedagang kaki lima terkaget dan terbangun seraya menangis memanggil-manggil ibunya. Sang ibu yang waktu itu sedang mengisikan bensin pada tangki motor seorang pembeli mendadak panik lantas buru-buru mengambil bayinya dalam  sekotak rumah warung pinggir jalan ke dalam pelukannya. Dan ibu itu tambah terkejut lagi tatkala sang pembeli tadi sudah menancap gas padahal belum membayar sepeser pun.

Bayi dalam gendongannya perlahan diam. "Ada apa sih itu Pan?" tanyanya pada seorang penjual bakso yang ikut berlarian ke arah gerbang kota "Ada yang hampir ketabrak!"

"Heh! Mau cari mati kau!" kondektur truk itu turun dan menunjuk-nunjukkan kunci inggris dalam genggamannya kepada lelaki itu. Otot-otot lengannya yang legam tampak penuh dan bertonjolan.

Tapi laki-laki itu bergeming. Ia melangkah dan membelah kerumunan masa, berjalan dengan seulas senyum di bibirnya yang kering dan pucat.

"Oh, dasar orang gila!" Seseorang mencemoohnya tatkkala ia meraba Gerbang kota yang menjulang. Pendengaran laki-laki itu normal, hanya saja ia lebih berkonsentrasi mendengar suara keributan di kepalanya.

"Sabarlah sayang, sebentar lagi kita akan punya rumah baru."