Selasa, 17 Desember 2013

Romansa Perjalanan



perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
sayang kau tak duduk
di sampingku
kawan

Bila sendiri adalah bunyi. Maka ia akan menjadi gelegar saat kita melakukan perjalanan, sendirian. Terutama bepergian menuju tempat yang jauh dan ditempuh dalam rentang waktu lebih dari beberapa putaran jam. 

Saat di stasiun, terminal, ataupun pelabuhan kita berpapasan dengan puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Wajah-wajah. Tergesa. Muram. Sumringah. Lelah. Cuek. Jutek. Dan lain sebagainya. Terkadang saya iseng saja menebak-nebak suasana hati dari gurat wajah yang tampak. Apakah mereka sedang menempuh perjalanan untuk sebuah pertemuan, atau justru baru saja merasakan beratnya perpisahan dengan yang ditinggalkan, atau bahkan keduanya?

Dan biasanya rasa empatik itu serta merta memantul ke diri. Sedang di posisi manakah saya? Apa yang akan saya tuju? Apa yang sedang atau sudah saya tinggalkan? Kenapa ada jarak? Kenapa kita tidak bisa mempertahankan semua? Sebenarnya apa yang benar-benar saya punyai secara hakiki? Kenapa mesti ada duka yang mengiringi bahagia dan sebaliknya? Hingga... Kenapa dunia terasa begitu fana?

Perjalanan memang kerap kali memelantingkan saya pada perasaan melankolis yang begitu jauh. Yang pada hari-hari biasa perasaan itu saya tepis mentah-mentah. Tapi alih-alih diserbu perasaan gundah justru perjalanan adalah saat saya bermesra dengan diri sendiri. Meski diselingi dengan deru dan suara lalu lalang kendaraan, suara-suara dari dalam diri justru menjadi lantang terdengar.

Dalam hal ini, saya tidak sanggup membantah saran sahabat saya Seno @menghunjam yang lebih suka bepergian sendirian. Dan ternyata memang beda sekali rasanya. Bahkan meskipun dibandingkan dengan perjalanan yang hanya ditemani oleh satu orang. Berpergi sendiri akan jauh lebih banyak membawa perenugan.

Tidak hanya diri yang berbicara tentang perasaan-perasaan terdalamnya, namun langit, gunung, sawah, rumah hingga tiang-tiang listrik yang berlarian juga membisikkan hatinya. Bertanya perihal keeksistensian. Bertanya tentang apakah arti keberadaanya.

Perenungan dibutuhkan jiwa sebagaimana raga membutuhkan makanan. Jika diri telah menjadi sedemikian peka, maka duduk di dekat jendela rumah pun cukup untuk membangkitkan 'suara-suara'. Seperti Tagore. Penyair legendaris yang menerima nobel sastra tahun 1913 ini telah berujar dalam salah satu baitnya yang lembut. 

Aku duduk di jendelaku pagi ini
di mana dunia seperti seorang lewat
yang berhenti sejenak
mengangguk kepadaku
dan pergi





Minggu, 15 Desember 2013

Siapa Orang Tua Otak?



Tempo hari saya diminta untuk mengajar ekstrakurikuler sastra (cerpen dan puisi) di SMP N 7 Jambi. Sekolah yang –katanya- menjadi salah satu sekolah favorit di ibu kota propinsi, yang terkenal dengan sungainya yang terpanjang di Pulau Sumatera, Sungai Batanghari. Ada banyak sekali pelajaran yang saya ambil selama saya mengajar. Ya, saya malah merasa tidak sedang memberi, tapi justru sedang menduplikasi semangat, kepolosan, antusiasme, bahkan daya imajinasi anak-anak murid ke dalam diri saya.

Salah satunya adalah saat suatu hari saya memberikan materi puisi. Sebagai pemanasan saya mengguanakan metode inisiatif saya sendiri. Sebut saja ‘bertanyalah sebanyak-banyaknya’. Metode ini terinspirasi sepenuhya oleh Kitab Pertanyaan karya seorang penyair peraih nobel sastra Pablo Neruda.

Selama kurang lebih sepuluh menit saya memberikan kesempatan kepada para murid untuk sebebas-bebasnya menuliskan pertanyaan tentang –secara random akhirnya kami sepakat memilih- Otak. Berikut saya uraikan beberapa pertanyaan itu.

Rabu, 11 Desember 2013

"Save Me!"



Blogger Nusantara #BN2013

"Sebelum kita melangkah terlalu jauh, aku ingin kamu tahu kalau.... " halah apa ini. Intinya begini sahabat sekalian. Perlu saya tegaskan di awal. Barangkali yang akan saya uraikan di bawah ini sifatnya semacam protes. Barangkali nada-nadanya akan cenderung negatif atau bahkan malah provokatif. Tapi ini murni dari apa yang saya pandang dan rasakan. Dan saya rasa perlu untuk menyampaikannya. Entah untuk sekadar uraian pintas lalu, atau (syukur-syukur) ada yang bisa diambil pelajaran. Meskipun tulisan ini akan sangat subjektif.

Sekitar satu minggu sebelum acara Blogger Nusantara digelar, atau tepatnya tanggal 23 November, saya mendapat sms dari adik saya yang kuliah di Jogja supaya jalan-jalan menjenguknya. Adik saya tidak sakit, Alhamdulillah sehat walafiat, hanya saja memang saya jarang menjenguknya. Bertemu paling hanya setahun sekali waktu lebaran. Akhirnya saya pun memutuskan akhir bulan akan ke Jogja. Dan langsung membayangkan bagaimana serunya naik kereta berikut jalan-jalan di Kota Jogja yang juga sudah lama tak saya sambangi.

Singkat cerita, pada malam berikutnya di twitter saya @moehyie (jangan difollow ya) muncul retweetan dari teman saya di bandung -seorang blogger. Yang intinya masih membuka pendaftaran untuk acara blogger nusantara. Acaranya pas dengan rencana saya ke Jogja. Tanpa berfikir panjang saya langsung mendaftar. 

Hingga beberapa hari belum ada konfirmasi. Pasrah, karena saya pun bimbang. Niatan saya menjenguk adik lha ini kok malah ditinggal buat acara lain. Tapi kemudian jeng jeng... datanglah email itu. Saya 'diterima' jadi peserta. Mewakili Jambi yang hanya 2 orang berbanding total ribuan peserta dari daerah-daerah lain. Rasanya senang bukan main, terlebih dapat rundown acara seperti ini.

Senin, 02 Desember 2013

Masih Kuat Berapa Ronde?



Terlepas dari perbedaan pendapat tentang Jogja itu Kota Panas atau enggak, saya ingin membuat pernyataan bahwa ibu kota salah satu daerah istimewa di Indonesia ini pasti dingin di malam hari, ya iyalah. Kecuali bagi mereka yang lagi duduk manis di atas kobaran tungku, atau yang sedang senyum berkilau sambil ngemut setrikaan.

Kadar kehawadinginan ini akan semakin meningkat terutama bagi para tourist domestik (baca: gelandangan yang tertunda) yang berasal dari kota-kota bertemperatur relatif tinggi dibanding daerah-daerah di sekitaran garis katulistiwa. Contoh kongkrit, saya *nyengir*, yang berasal dari Jambi. Kota yang kalau kata Aan Mansyur panasnya seperti saat berada di depan tungku penggorengan.  

Walhasil, malam di Jogja akan terasa lebih dingin ketimbang di Jambi. Untuk mengusirnya biasanya saya lempar pake panci atau diguyur air (dikira kucing). Hehe.. maksud saya minum Sekucing. Eh sekoteng. Minuman berbahan dasar jahe ini sering saya sebut sebagai ‘Semesta dalam secangkir minuman’. Ya, saya memang tidak berbakat utuk lebay. *tertunduk lesu*

Tour Guide yang Culun nan Pemalu

Anehnya, minuman yang kalau sekilas saya searching di gugel berasal dari Jawa ini tidak ada (atau saya belum tahu keberadaannya) di Jogjakarta. Saat saya tanya kepada tour guide saya yang culun nan pemalu, dengan wajah merona merah jambu air dan sedikit menunduk dia menjawab “Wedang ronde saja, Mas.”

Ya sudah. Wedang ronde saja. Meskipun pada kejadian sebenarnya justru sayalah yang punya ide beli wedang Ronde itu, dan akhirnya merepotkan dia yang berinisial PM (punai merindu?) membelah kota dan menembus kemacetan alun-alun selatan demi mendapatkan semangkuk wedang ronde dengan penampakan seperti ini.

Senin, 11 November 2013

Aduh!

Dengan bermacam dalih yang ada, beberapa bulan belakangan ini saya menjauh dari genggaman pena. Benar-benar menjauh. Draft novel masih terbengkalai. Tak ada cerpen. Tak jua ringkas cerita. Terlebih lagi sebait puisi.

Alangkah angkuh kalau saya menyebut diri ini sedang jenuh dengan semua yang berbau sastra dan turunan-turunannya. Amat kecil sekali langkah ini baru menjelajah. Dan naif sekali kalau saya bilang sudah bosan dengan semua panorama (sastra).

Namun barangkali memang inilah yang sebenarnya terjadi. Seperti ibu hamil yang sedang alergi dengan satu/beberapa jenis makanan, saya benar-benar mual dengan semua jenis puisi. Rangkaian kata paling menakjubkan sekalipun menjadi hambar. Apalagi cerpen. Apalagi novel.

Ada suara dalam diri yang sering terdengar lantang. “Saya muak dengan segala kepura-puraan, fiksi dan segala cinta-cintaan yang picisan.”

Saya turuti saja ‘ngidam’ saya itu. Menjauh dari segala bebauan sastra.

Berlalu waktu. Saya masih baik-baik saja. Dan memang baik-baik saja. Sebagai seseorang yang mengoleksi buku dengan masyoritas lembaran fiksi, saya cukup kaget juga dengan kedayatahanan ini. Sampai bait tulisan ini ditera, saya bersimpul (dengan hati yang dagdigdug) bahwa ternyata menulis bukan passion saya. Sastra bukan cinta saya. Saya bisa hidup tanpanya. Dan tetap baik-baik saja.


Ini perlu saya tegaskan karena beberapa tahun belakangan, dalam intensitas saya yang cukup tinggi (tsaelah) dengan puisi dan semacamnya, berjarak saja dengan dunia tulis menulis rasanya mengerikan bukan main, apalagi sampai harus benar-benar berlepas tangan hingga berbulan-bulan.

Tapi kini saya harus mengahadapi kenyataan itu. Apa yang saya kira telah mendarah daging dalam diri saya rupanya hanya sehirup nafas yang dengan mudahnya saya hembuskan kembali. Meski di sisi lain saya juga tidak bisa menampik kenyataan bahwa ada denyut-desir lain yang mulai menggejala. Seperti perangai perasaan-perasaan lama.

Lantas terlalu mulukkah kalau saya mengira sebentar lagi akan ada pemberontakan dari dalam diri? Dan mulai menggugat hal-hal kecil. Tulisan ini, misalnya.

Jumat, 19 Juli 2013

Alma


Titik-titik salju jatuh bertabur di tubuh kota. Memutihkan atap-atap rumah yang tinggi. Menjadikannya seperti kepala para manula yang tertunduk dingin, putih dan renta. Padahal ini musim dingin yang biasa, salju bertumpuk dan perlahan mencair di  mana saja, tetapi penduduk kota masih saja bertahan di depan perapian. Orang-orang dewasa menenggak anggur, bernyanyi dan melanturkan cerita-cerita yang membosankan.

Seorang gadis kecil berhasil menarik diri. Menyelinap dan keluar dengan balutan baju, syal dan topi tenunan ibunya yang tebal dan hangat. Hanya bulat wajahnya yang langsung bersentuhan dengan hawa dingin kota. Namun senyum yang cerah justru terkembang di wajah itu seraya dua kakinya saling berpacu, melompat-lompat, berjalan zig-zag, membuat jejak-jejak di atas hamparan putih salju yang perlahan mencair.

Gedung-gedung yang menjulang memberi jarak selebar tiga hingga lima kali regangan tanganya untuk leluasa menjelajah kota. Ke tempat-tempat yang belum pernah ia tapaki. Yang di hari biasa jalanan itu akan penuh lalu-lalang orang dewasa yang berjalan tergesa.

Jantungnya berdegup –berdendang- riang sekali. Matanya yang biru dan kecil berputar kesana-kemari. Mata yang kini serasa memiliki seluruh kota.

Senin, 15 April 2013

Pulang



Bahkan sangkar-sangkar emas
tak cukup memulangkan kita, Sayang
Karena kekang bukanlah pulang
Karena menggulung sayap bukan pula kediaman
Karena sejatinya, ke dada kita luas langit beralamat

Kamis, 14 Februari 2013

#petikatagore




* #petikatagore : petikan perkataan Tagore, seorang penyair peraih Nobel Sastra berdarah India, karya-karyanya banyak bersumber dari renung-renungan alam, dan sungguh sangat luar biasa.


Rabu, 13 Februari 2013

Puisi-Puisi Buruk


wahai puisi-puisi buruk
cacat dan janggal
yang dirobek oleh tuannya.

datanglah kemari.

temani sajak-sajakku
yang tak seberapa ini
mereka pasti berlapang hati
menyambut kalian

terhadap teman-teman yang sepadan
mereka tak akan malu membuka diri
bersenang-senanglah kalian
buatlah kegaduhan pada dunia

jangan khawatir
sang tuan mereka ini
tak akan mati oleh caci maki
ia hanya akan menderita
hingga binasa sendiri
saat tak bisa lagi
menulis puisi


Penghulu Muara

                : adjeng dan suami
 
maka kita mulakan dan muliakan segalanya
pada paraf penghulu. Di mana "Sah!" adalah basah
bening mata air dan air mata haru yang melalui
celah bebatu

dalam kepatuhan kerja pada aturan-aturan ketinggian
air-air itu mengalir, menjadi kelok sungai, menjadi elok landai
mempertemukan dua desa, menyatukan kita

petak-petak sawahnya adalah kubikel-kubikel
di mana tangan-tangan matahari bekerja
mengetikkan hijau di musim tanam
mencetak kuning menjelang panen tiba

biji-biji padi. keping-keping mata uang kehidupan
yang kita gemah ripahkan kepada sanak saudara
handai taulan pun orang-orang yang berlalu lalang
antara benci dan cinta, juga tak lupa pada sekawanan
burung-burung yang tak pernah terlambat bekerja

maka kita mulakan dan muliakan segalanya
pada paraf penghulu. di mana air kehidupan 
cinta kita bermula. mengalir setia menuju muara
lautan. meja di mana semua lembar kerja cinta kita

dihamparkan. dihadapkan
mulai dari laporan kemesraan
pun hingga notulen-notulen perselisihan
dalam keseharian kita mencari mufakat
mencari kesebenaran maslahat
semoga semuanya mendapat
tanda tangan-Nya





Selasa, 12 Februari 2013

Kesiangan

entah terjebak di labirin mimpi ataukah
karena dinding yang teramat kuat menahan
gempuran matahari. di ruangan gelap itu kau
tergeragap bangun dan bingung mencari arloji
peta kecil untuk mengeluarkanmu dari segala
keterasingan detik-detik ini

tapi semua telah terlambat
jantung itu sudah tak berdetak lagi

Senin, 11 Februari 2013

Tukang Kayu di Dalam Buku

Saat cuaca hujan belaka
Kepada buku aku bernaung
Dua sisinya adalah atap yang kedap
Di bawahnya aku duduk berdiam
Dibekukan waktu. Padat pasi
Seperti gelondongan kayu jati
Terpaku menatap langit-langit

Huruf-huruf tak seberapa. Padat spasi
Hitam berjatuh-jatuhan
Berkumpul di sudut
Menyatu menjadi wujud
Tukang kayu yang tua
Tukang kayu yang puisi namanya

Peralatan yang sederhana
Pisau ukir, pahat, palu dan kikir
Dengan cara yang serta merta
Dipahat tubuhku mili demi mili
Perih demi perih
Menjadi putra mahkota
Menjadi tugu berukir bunga-bunga
Menjadi patung yang murung
Menjadi balok kayu
Menjadi sampan kecil
Menjadi bocah berwajah dingin
Menjadi serigala
Menjadi keranjang sampah
Menjadi elang
Menjadi teratai hitam
Menjadi hati
Menjadi serpihan hati
Menjadi serpihan serpihan hati
Menjadi titik

Jumat, 08 Februari 2013

Sapu Terbang Tak Berkawan


 
Dunia sihir –dunia rekaan ini- memang selalu diidentikkan dengan sapu terbang, topi kain hitam berbentuk kerucut, yang keduanya dikenakan oleh si nenek sihir. Kenapa sapu terbang? Mungkin krena sifatnya yang praktis serta bentuknya yang pas untuk dipakai terbang; secara langsung sudah terdiri dari tempat duduk dan pegangan tangan. Coba misalnya sendok terbang, kan jadi repot.

Selain itu sapu terbang memiliki tingkat aerodinamis yang bagus (semoga saya tidak salah istilah) yaitu dengan dipakai dalam posisi merunduk ke depan, secara keseluruhan bagian depan sapu terbang mempunyai luas penampang yang kecil sehingga dapat dengan mudah dipakai ngebut menembus angin. Beda kasus kalau misalnya yang  dipake itu baliho terbang, beuh mau terbang sepuluh meter aja susah banget.

Pertemuan Penyair Nusantara VI


Jumpa lagi di sesi dibuang sayang. Kali ini diambil dari arsip PPN Pertemuan Penyair Nusantara VI akhir Desember lalu (tanggal 28-31) di Jambi. Bertempat di Hotel Ratu & Shangratu, acara ini tidak hanya dihadiri oleh penyair negeri saja, tapi juga dari negara-negara tetangga.

Seperti yang telah disampaikan di postingan lalu, kami bertugas mengurusi pameran dan bazar buku alias sebagai tukang jualan. Praktis tidak begitu ngeh dengan materi-materi dan acara yang diadakan untuk peserta, jadi tak banyak pula rekam gambar yang akan dibagi di sini. (backsound suara kecewa penonton)


Menjadi penjual buku sastra adalah pekerjaan paling keren sedunia, seriously.

Kamis, 07 Februari 2013

Jalankanlah

Jalankanlah kaki-kaki kata-kata
Ke hampar sawah
Tak ingin mereka meranum padi
Sebelum kau melelahkan diri
Hingga matahari melelehkan tubuhmu
Menjadi lumpur

Jalankanlah kaki-kaki kata-kata
Ke puncak bukit
Tak lantas mereka menyentuh langit
Sebelum kau patahkan diri
Hingga tersusun tulang-tulangmu
Menjadi tangga

Jalankanlah kaki-kaki kata-kata
Ke tepi benua
Tak lekas mereka berlayar
Sebelum kau ledakkan diri
Hingga getarnya bergulung hebat
Menjadi angin darat

Jalankanlah kaki-kaki kata-kata
Ke atas kertas
Tak hendak mereka jadi puisi
Sebelum kau tumpahkan seluruh darah
Hingga tubuhmu telah benar
Menjadi kosong