Kamis, 02 Februari 2012

Secangkir Isyarat

Dua Sendok Gula


Ketika beranjak punggung pagi, mengapa sunyi masih memberiku segelas nyeri, sedang namamu tak kunjung usai kuhafalkan? Manis lidahku, manisnya kelu. Umpama selungsur ijab, yang gelepar-menggelepar cuma di tenggorokan


Lima Kuntum Melati


Katanya, Puan. Bila bau jejakmu seringkali tercium dalam tidur. Maka bulan-bulan ranum adalah selekat dua katup mata nan pulas. Tapi padaku, mengapa matahari tetap menampari pipi, sembari menuangi cahaya perih ke bola mataku lagi. Oh, inikah pagi?


Setuang Banyu, Hangat Sekuku


Maka berilah ia sekedar tanda, kerlip kecil di silap punggung bukit rembulan. Selarik aba penggesa rentak kaki-kaki kuda. Yang segera mengibas sayapnya lepas; kuburu kau sampai puas!


Segelas Matahari Bulat Sempurna


Lalu marilah, kita khatamkan segala. Di sebuah padang lembut bulu mata. Di langit bersih, licin kerudung Turki. Pada suatu ketika yang mungkin. Raya kupu-kupu dadaku mengepak bersua telaga; memecah purba haus di suatu cuaca yang sempurna.

Rabu, 01 Februari 2012

Kepada Saudara Lain Cerita


Hei, Bang! Apa kabarmu kini? Ini kali pertamanya aku mengirimi kau sepucuk surat. Pun sebaliknya, mungkin baru pertama kalinya pula engkau dikirimi surat oleh seseorang. Ya, sepucuk surat. Kalau suratan, itu kan sudah beda lagi. Maksudku suratan jemari takdir, yang telah menuliskan kita sebagai dua tokoh cerita (nyata) yang tak pernah berdrama dalam satu halaman kisah. 


Kau tertulis pada halaman pertama, sedang aku jauh tersuruk, beberapa ratus-ribu-juta halaman cerita berikutnya. 


Engkau mengkhatamkan cerita tepat di halaman pertama yang masih amat putih, sedang aku sampai kini masih meniti lika-liku kisah, dengan bercak-bercak tinta-noda yang ahh… malu aku mengatakannya.