Senin, 06 Januari 2014

Selalu Jadi Puisi

seno

Seorang teman masa kecil kembali datang. Bertubuh setinggi pinggang. Tangannya tak menjangkau ujung kemeja. Panjang kali memanjang. Lengan yang selalu basah. Ujungnya berpilin asin dan berbau biru. Beberapa lumba-lumba berpacu. Membelah kesedihan yang pura-pura mengapung sebagai ganggang. Udara mekar. Jadi kiambang awan. Di bawah keteduhdukaannya para penduduk menyeberangi kali. Seorang perempuan remaja menahan telapak kakinya yang telanjang lebih lama. Kali bening itu tetap mengalir selayak biasa. Seolah tak terjadi apa-apa.

Dengan tubuh sekecil itu aku bebas terjun ke pangkal lengannya tanpa takut tenggelam. Lalu ia akan ikut menyelam. Ia memang suka menyelami dirinya sendiri. Tanpa bernafaspun takkan pernah takut mati.

Aku. Kami. Sepasang jarum jeram. Berkelindan dari hulu hingga muara tanjung harapan. Berdeburdebaran hilir mudik tiada berhenti. Berlumba dengan suara. Hingga suara lelah payah dan mati. Hingga kami tak bisa mendengarkan telinga sendiri.

Malamnya kami bermimpi di peraduan masing-masing. Sampai pagi menjelang. Kali itu tidak sebening lagi. Di salah satu tepi. Seorang perempuan remaja menahan telapak kakinya yang telanjang lebih lama. Ragu-ragu menyeberanginya.