Jumat, 30 September 2011

Muaro Jambi Temple








Kamis, 29 September 2011

Sauh


Hatimu kampung terjauh,
sejatuh jatuh tubuh pernah labuh,
meminangkan dahaga sebagai karib setia,
mengusapkan maut ke air muka

Hatimu kampung terjauh,
Sehilang-hilang malam membuta sauh
sampai waktu kehabisan sepatu,
bahkan untuk sekedar menunggu;
menghitamkan batu-batu ragu

Rabu, 28 September 2011

Khaleel

helptheafghanchildren.org

Suatu sore angin berebut melompati jendela. Seperti  saling tak sabar menibar kabar kepadaku. Kabar dari tawa kanak-kanak yang berlarian menjunjung galah, tawa tentang langit yang tak lagi melulu biru, namun hijau, merah, jingga, kuning dan masih banyak lagi warna-warna yang tak bisa kuterjemahkan. Yang saling menari dan berpelukan di udara lepas, lalu satu persatu jatuh, dibawa angin jauh ke negeri bernama entah. Membawa doa-doa tentang kebebasan, kemerdekaan. Dan ketika kubuka jendela, rasanya aku seperti tinggal di sebuah bab kisah dongeng yang dulu sering Baba bacakan kepadaku sebelum tidur. Tentang seorang gadis mungil yang tinggal di sebuah negeri yang tak mengenal air mata dan duka. Ah, perayaan telah dimulai,  Khaleel!

***

Tiba-tiba aku mengingatmu, lebih rindu. Bersama perayaan yang pertama kalinya dimulai, semenjak para militan melarangnya. Tapi, ah, aku sedang tak ingin membahas perayaan itu. Seperti yang sering kukatakan padamu bahwa aku tak begitu suka pada permainan anak laki-laki itu. Karena Baba mengatakan bahwa aku akan berubah menjadi anak laki-laki bila memainkan itu. Dan tentunya aku tak ingin jadi anak laki-laki sepertimu.

Khaleel, aku cuma ingin memberitahumu bahwa keadaanku baik-baik saja. Ada Bibi Salmah yang masih begitu sabar mengurusku di sini. Menghangatkan air mandiku, memberi makan untuk ternak, juga sangat pandai membuat naan yang lezat.

Jika malam, Bibi Salmah sering menceritakan beberapa kisah menarik padaku. Kebanyakan mengenai kisah cinta ia dan suaminya dulu, sungguh mengharukan. Dan percayakah, Bibi Salmah bilang suaminya mirip sekali denganmu. Namun bedanya, yang kuyakini adalah kau lebih tampan, dengan mata teduh dan rahangmu yang tegas. Dan apapun yang ada padamu, yang selalu kau naifkan ketika gadis-gadis di desa ramai membincangkanmu.

Kemarin, Khaleel, mungkin kau akan begitu gembira mendengar ini. Pagi beberapa waktu yang lalu, sesuatu yang sungguh tak biasa terjadi padaku. Sesuatu seperti sedang bergejolak di dalam sana. Seperti ada sesuatu yang dihembuskan, dengan segala kesakitan, kepayahan, yang kurasakan dengan air mata kebahagiaan.

Dan aku mengingatmu, dengan  lebih rindu. Agar kau cepat muncul dari tikungan dibawah perdu di ujung halaman, sembari tergegas memburu dengan dada yang membuncah rindu. Mengecup keningku, lalu kau bacakan kalimat-kalimat suci kepada geliat cintamu yang sedang mengelopak di rahimku.

Selasa, 27 September 2011

Boneka Pucca dan Sapu Tangan Perca


Maka kaulah selembut wajah bulan yang tersenyum itu. Keindahan yang perlahan-lahan mengucap kata-kata pertamanya. Di telinga bunga. Detak detik tersulam rapi seperti gerak tari bidadari. Benang-benang yang terbentang dari selengkung pelangi.

Maka akulah selembar sapu tangan perca itu. Setubuh tabah yang disatukan dari pecahan-pecahan waktu. Seumpama selapis kaca tipis, aku akan pecah berderai oleh setitik airmata duka. Maka yang bisa kulakukan hanya menjagamu sehingga, yang mengalir dari kedua matamu hanyalah hening bening suka cita yang membasuh wajah-wajah doa.

Maka serangkailah kita. Boneka pucca di atas sapu tangan perca. Yang kelak membuat senyum tawa mungil bersih jemari tasbih. Putra putri kekasih yang merangkak menyingkap tabir, belajar tegak menegak takbir di atas panggung dunia.

Kamis, 22 September 2011

Yang Jatuh

Dari Sajak Cinta

Tujuh Haiku



Doa Kecil

Stoples telungkup
Ikan berbisik lirih
Kucing pun takzim



Di Kunjung Semi
Barisan Pohon
Awan-awan berbunga
Dadaku hampa?



Dalam Dongeng
Pangeran kejar
Malam jenjang terburu
Luput, terjengkang!



Sarapan
Pagi yang basi
Bacaan doa makan
Bocah jalanan



Kepada Puan
Rembulan mabuk
Kalbu meruas tebu
Kutulis Haiku



Melankolia
Di hari hujan
Wajah embun jendela
Rinduku basah



Obituari
Di peron duka
Kulambaikan kenangan
Selamat jalan!

Senin, 19 September 2011

Cup Cake dan Tulisan Cemen

foto dari sini

Hujan, sekalipun benderang, adalah tirai paling tebal untuk menutupi segala keharuan.

Sepertinya kita sudah sangat familiar dengan adegan ini; seorang perempuan berlarian di tengah hujan mengejar lelakinya yang –juga- berlari pergi meninggalkan. Di tengah gemuruh petir, dalam kebasahan tubuh yang begitu getir. Yah, scene hujan emang udah jadi gaji buta untuk bayaran air mata seorang artis.

Eh, tapi kita tak sedang membahas ini sekarang. Sebab kita sedang ulang tahun! Ulang tahun yang pertama loh! yeaaaay!! Itu yang membuat kami terharu sampai harus bermandi hujan untuk menyamarkan air mata buaya darat laut dan udara... halahhh.

Hayoo mana nih kadonya dari kawan punai? *ngegelar tikar di depan pasar angso duo (ngemis kado)*

Setahun sudah

Beberapa idealisme niat awal terbentuknya blog punai merindu sedikit banyak sudah terjalankan, namun ya kami menyadari bahwa masih butuh lompatan yang lebih tinggi lagi dalam membenah dan menambah kualitas blog kita tercintah ini.

Beberapa lokasi dengan sengaja kami kunjungi untuk berburu ide, photo, hingga berburu makan. Yah selain menulis kami pun juga hobi berwisata kuliner (baca: doyan jajan).

Kalau dari segi tulisan, sekiranya sudah cukup seragam, tapi kebanyakan dikerjaan atas dasar deadline alias todongan (yahh ketahuan deh aslinya). Tapi setidaknya kami terpacu untuk terus menerus berkarya dalam tulis menulis, ciaaelaahhh.

Kolablograsi

Tapi memang begitukan salah satu fungsi blog? Apalagi dengan berkolablograsi. Setidaknya kalau ada yang salah satu malas berkarya ada yang ngingetin, etapi masalahnya juga kita berdua seringnya males berjamaah! Hoho...

Selasa, 13 September 2011

Hijrah

Mengalirkan Pagi

Bunga

Kerinduanku adalah getah yang merekatkan tangkai dan bunga,
tepat pada rekah kelopak yang menguar aroma  tubuhmu.

Aroma sebuah alamat perjumpaan yang kekal, 
dimana kelak kita kenang perpisahan seumpama putik jatuh;
tumbuh sebagai rindu yang selalu kambuh.

Putik, putik yang jatuh takkan menumbuhkan rindu!

Namun, bukankah di tanah ketabahan, 
pun luka akan mengelopakkan tawa?

Tawa adalah rekahan kelopak-kelopak patah. 
Dan ketabahan tak pernah membuka mulutnya 
hingga cahaya gerahamnya menyengat bunga-bunga, 
mengeringkan getah yang membuat kelopak 
melepas pelukan pada pelepah

Ah, Tuan. Apalah juga bunga-bunga bagi kalbu 
yang terlanjur hitam dan rindu yang menggugur makam

Oh, kalbu yang hitam, takkan bisa memuisikan kerinduan, Sayang. 
Dan Rindu yang sudah mati tak kuterima, sampai kapanpun!



                                                                         Lubuk linggau - Jambi, September 2011



Puisi di atas diberbalaskan oleh:
Benny Arnas:   Memperoleh sejumlah penghargaan di bidang sastra, antara lain Piala Balai Bahasa 2009, Penghargaan Radar Pat Petulai 2009, Penulis Kisah Inspiratif Terbaik 2009 LPPH & Mizan, Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009, Cipta Cerpen Menpora 2010. dan Krakatau Award 2010. Ia diundang dalam pertemuan internasional Ubud Writers & Readers Festival 2010. Jatuh dari Cinta adalah buku ketiganya setelah Bulan Celurit Api (2010) dan Meminang Fatimah (2009).

"L"                  : Admin Punai Merindu. Belum mengepakkan barang seangin pun. :)




Selasa, 06 September 2011

Lima Bait Sajak Cinta (4)


/1/
bulan takkan jatuh
sayang
selama tiada lebah
menghisap madu
dari kelopak matamu

/2/
tangan-tangan hutan
bergandengan hijau
lengan-lengan awan
berpelukan putih
di antaranya;
seekor elang
terbang sendirian

/3/
kelam kemarau
dasar sungai yang tampak
adalah telapak
yang terbuka
yang doa
“nyalakan kami hujan paling benderang”

/4/
retak-retak tanah
kemersak jatuh dedaun jati
seorang gadis bercaping
menyeberang kali
bertelanjang kaki

/5/
samudera;
tanpa kesedihanmu
aku hanyalah lubang raya
yang menganga
-teruslah menangis
sayang…