Selasa, 06 September 2011

Pemancar di Sarang Burung


“Kau pasti akan suka dengan orang ini....”

Pagi, hari keempat lebaran. Jalanan masih terlalu lengang untuk ukuran hari-hari biasa. Kudorong kaca helm sedikit ke atas. Angin-angin kencang berebut. Pecah menabrak-nabrak wajah. Perlahan kukendurkan sedikit tarikan gas. Sepertinya saya terlalu bersemangat.

Setelah menghampiri seorang yang telah menjadi biang kerok kebut-kebutan saya pagi ini (biasanya pagi di hari lebaran begini saya paling malas keluar rumah), kami langsung berangkat menuju kediaman seseorang yang kata teman saya ini sungguh hebat. Hemm...sebegitukah?

975 km dalam 28 jam

Seperti tak sampai-sampai. Mungkin karena tempatnya lebih jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Dari kota, melewati Jembatan Batanghari yang harus begitu panjang untuk bisa mengalahkan lebarnya sungai utama di Jambi ini. Lalu menyusuri jalan arah Sengeti yang di beberapa bagiannya bersisihan dengan tepian Sungai Batanghari.

Dari jalan utama yang bila ditelusuri terus bisa menyampaikan kita ke Propinsi Riau ini, kami berbelok menuju sebuah perkampungan di tepian Batanghari. Letaknya tak pula cukup pelosok lah. Kiri kanan jalan sudah banyak terpancang rumah penduduk yang panggung tanggung (maksud saya ukuran tiang-tiangnya tak begitu tinggi, hanya sekitaran tinggi orang dewasa). Hinggalah sampai pada rumah yang kami maksud.

Meski tak tahu persis alamatnya sebelumnya, kami mendapatinya tak pula susah. Bangunan rumahnya sangat mencolok dengan antena pemancar yang menjulang. Ya, beliau yang telah menunggu kami di depan rumahnya adalah pemilik sekaligus penyiar utama (dan saat ini satu-satunya) Radio Muaro Jambi News 92.5 fm.

Lelaki bernama lengkap Yayak Supriyadi yang telah berkeluarga dan memiliki empat orang anak ini dengan ramah mempersilakan kami masuk ke ruang tamu, yang tempatnya tepat di depan bilik siaran. Rumah yang sederhana, dan bilik siaran itu seperti jantung yang menjadi denyut dari keberadaan rumah ini.

“Jadi sempat ketemu Gus Dur juga ya Mas?” tanyaku setelah beberapa perbincangan awal dan akhirnya mataku terpaku pada sebingkai foto di dinding.
“ Alhamdulillah...” lalu Ia menjelaskan tentang sabab-musababnya. Yaitu dalam sebuah misi ‘penggebrakan’ dari jaringan radio-radio ia melakukan perjalanan bersejarah. Kalau menurut saya ini sangat fenomenal, dari Jambi ke Jakarta sejauh 975 km yang ditempuh dengan berkendara motor hanya dalm 28 JAM!! Oh maii....
“Kalau tidak menggebrak, suara orang kecil seperti saya ini susah untuk bisa kedengaran mas.” Lanjutnya merendah.

Misi Sosial

Bicara soal radio, ternyata misi penyiaraannya ini banyak ‘ternyata-nya’. Usahanya telah dimulai dari tahun 2003. Mulai dari radio amatir hingga sekarang sudah me-relay dari kantor-kantor berita radio ternama; 68H Jakarta, VOA, NHK World Japan, bahkan hingga stasiun radio dari Belanda dan Jerman (maaf untuk belanda dan jerman saya lupa menanyakan apa nama radionya hihi... *reporter payah*).

Seperti filosofi (ini filosofi karangan saya sendiri) pemancar radio yag menyebarkan gelombang ke segala penjuru, usaha lelaki yang telah merantau sejak tahun 1984 (lima belas tahun sebelum saya dilahirkan :p ) tak berhenti pada radio saja. Ia meretas komunitas yang kemudian bergerak dalam berbagai bidang sosial. Di antaranya perhimpunan lembaga kursus/keahlian (saya juga lupa apa namanya %#$%^ *jitak kepala sendiri*), bahkan ia saat ini menjadi Ketua untuk wilayah Kabupaten Muara Jambi.

Dari orang tuanya Ia melanjutkan usaha tahu tempe. Dari basic ilmu yang timba semasa remaja ia mengembangkan usaha perbengkelan. Kedua usaha itu ia bangun dan kembangkan juga dalam rangka menambah lapangan kerja untuk penduduk di sekitar sekaligus sebagai labratorium atawa lembaga training untuk membekali mereka dengan aneka keahlian. Ckckckck.... Ia pun pernah mengikuti beberapa seminar tentang usaha kecil dan menengah, salah satunya di Malang beberapa waktu lalu.

Mengembangkan Jambi

Dari berbagai ‘genre’ yang ia geluti itu, saya kemudian bertanya tentang apa sih cita-citanya ke depan? “Membuat stasiun televisi!” jawabnya mantap. Ia mengaku telah mempunyai areal lahan yang strategis di dekat kantor pemerintahan yang nantinya ia akan jadikan sentra pendidikan, radio, televisi dll.

Cita-cita yang luar biasa bukan? Ada begitu banyak energi yang saya serap sepanjang percakapan sejak pagi hingga matahari telah meninggi kini. Sebelum berpamit pulang saya sedikit merenung. Jika tubuh saya ini radio, maka yang harus saya lakukan adalah menyetel gelombangnya pada frekuensi yang tepat, yaitu pada frekuensi yang memungkinkan saya hanya mendengar tentang optimisme, kata-kata positif. Ya, kata-kata, berita, hingga dendang lagu yang penuh semangat memacu saya untuk terus bertindak. Berbuat sesuatu hingga lebih banyak lagi untuk negeri. Untuk kemaslahatan orang banyak.
 
Bukankah sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi sekitarnya?

0 komentar:

Posting Komentar