Senin, 28 Februari 2011

Seiring Beranjak Telapak Kaki Februari


Adalah syukur yang tak terperi seiring beranjak pergi telapak kaki Februari. Adalah bebutir pasir di sepanjang pesisir yang mencoba menjadi takar hitung nikmatNya. Namun sebanyak itu pula dilipat ganda, masih tak lengkap-lengkap jua.

Perjalanan panjang. Batavia. Jalur Pantai Utara. Bebukitan Karesidenan Kedu. Selatan Jawa. Jogjakarta. Hingga Keraton Surakarta. Kami jejaki di Februari ini.

Ada limpah hikmah. Ada setangkup cerita yang tak berkesudah. Pun ada yang kami coba lalai abaikan pada butiran peluh dan seikat lelah. Laksana petani yang memanen runduk padi menguning di sawah, yang kami coba saji di sini adalah nasi putih tanak, yang tentu saja kami masih terus berupaya untuk  terpadu cita rasa yang paling enak.

Dan di penghujung hari, adalah rebah kami pada tumpukan jerami.

 (Di Kaliurang, ‘beberapa langkah’ dari puncak Merapi)

Minggu, 27 Februari 2011

Walau Galau



LUKA juga bisa menjelma ruang bertembok tebal dan kedap suara. Di mana kau bisa mengaduh segaduh-gaduhnya, pun semesra-mesra bersamaNya.


KATA CINTAMU tak perlu sayap untuk sampai di dengarku. Telingaku sendiri yang akan merangkainya. Dari segala gemuruh aduh hingga nyeri paling sunyi.


ADA KALA mengayuh dayung. Ada masa layar terkembang. Pasrah pada angin dan gelombang. Yang diam-diam melupakan aku pada sebuah dermaga. Sebuah nama.


SEPERTI LAUT sibuk di ujung tanjung. Menahan gemuruh di relung jantung. Menggapai menyibak pasiran. Memunguti pecahan gelombang. Air matanya sendiri.


TAK KUDENGAR bahkan langkah matahari seberdebam ini. Ruang rungu tak berpenunggu. Pemiliknya pergi ke puri hati. Yang hanya ada getar swaramu.


Sabtu, 26 Februari 2011

Pada Mulanya Adalah Delay Pesawat Lalu Perjalanan dari Preman ke Preman

 


15:11:56 “Ajari aku cara untuk tersenyum.”

Seperti gerak refleks jempolku mengetikkan kata-kata itu lalu mempostingkannya di twitter (mungkin ia tak tahan juga melihat aku manyun melulu). AC ruang tunggu bandara yang berhembus sangat dingin sepertinya tak mempan buat menenangkan desah resah gelisah (halah) para calon penumpang. Malah sepertinya hawa dingin itu yang membuat awet rasa kesal kami penumpang.

Kurogoh tiket di tas kecilku. Seharusnya pesawat tujuan Jambi Jakarta ini berangkat jam 15.50 tapi sekarang jam 16.45 pesawatnya pun belum datang dari Jakarta. Errr....! Iya memang paling malas kalau perjalanan jadi terlambat kayak begini. Belum lagi kami berdua (Tommy dan Muhyi penghuni punai merindu ini) harus masih mengejar kereta di Jatinegara. Tapi mau gimana lagi, mau jambak-jambak petugas bandaranya pun, toh pesawatnya juga tak bakalan lekas datang.

18:45:12 Semoga dengan pembagian snack ini bukan pertanda buruk. -belum ada info kapan akan berangkat- (tulisku lagi di twitter)

Mungkin dengan sedikit analogi bahwa orang-orang berperut kosong akan gampang marah (ini versi buruk sangka) akhirnya pihak maskapai membagi snack. Ah, tapi tetap saja wajah-wajah gelisah itu tak terhapus. Di sebelahku ada seorang bapak yang dari garis wajahnya bisa di tebak kalau beliau ini berasal dari negerinya Chibi Maruko Chan (pada tau kan ya kartun lucu ini). Bapak yang sepertinya bepergian sendiri itu beberapa kali mondar-mandir, melongok lewat dinding kaca yang sedikit gelap, lalu duduk lagi membaca majalah yang penuh dengan huruf-huruf kanji (eh bener kan ya, itu sebutan untuk huruf Jepang).

Sementara itu, kami dengan tidak senonoh, melepaskan hasrat narsis-narsis cuih dengan saling potret, dengan kamera pinjaman pulak. Hadehh.. .. Tiga orang lain di samping kami (dua nenek2 dan satu kakek) mungkin kerap melirik kami dengan pandangan jijik kali ya. Hahaha... biarin!

18:54:00 Tiba-tiba nama kami berdua disebut di pengeras suara.

Jumat, 25 Februari 2011

TIK TAK TIK TAK DI DINDING


Aku bangun sebelum jam lima. Mandi dan tak lupa menggosok gigi. Saat jam delapan selesai sarapan, jam lima masih mendengkur di bawah selimutnya.

Waktuku kecil. Tik tak tik tak tik tak. Hidupnya sangat senang. Ia suka saku. Maksudku ia suka menyelinap, bersembunyi di dalam saku bajuku. Lalu menempelkan telinganya yang panjang di dadaku. Dag dig dug dag dig dug. Kalau ingin membuat ia tertawa kumasukkan sejumput pasir ke sana. Butir-butir pasir itu akan terbengong-bengong melihatnya dengan leluasa keluar masuk saku lewat celah pori baju. Bila begitu ia akan terkekeh sendiri, dan tik tak tik tak nya akan jadi ramai sekali.

Aku paling suka mengenakan baju kaos, sebenarnya. Tapi ia paling tak suka, dan sedikit marah. Aku jadi didiamkannya begitu saja. Dan seringnya kalau sudah pakai baju kaos aku memang jadi suka lupa waktu. Asyik bermain gundu dari bulat purnama sampai malam datang dan hanya ada kegelapan di langit-langit langit. Lalu aku baru pulang dengan sekantung gundu atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali di celana. Ia, tak kan pernah mau berada dalam saku celana. Kala aku memakai kaos begini ia memilih bergelantungan di kaos. Mirip spiderman, katanya. Mirip dag dig dug dag dig dug, katanya lagi. Membandingkan bunyi jantungnya dengan jantungku.

Waktuku besar. Tik tak tik tak tik tak. Hidupnya pun sangat senang. Kami sering lari bersama. Maksudku aku lari di atas tangannya. Butuh lima hari perjalanan untuk menempuh jarak dari pundak hingga ujung jempol tangannya. Tapi suatu saat kesibukan meyergapku. Seperti gundu. Aku menggelinding kesana-kemari. Dari bebukit hingga ke tengah kota. Aku jadi lupa waktu. Lupa berlari dari pundaknya lagi. Dadaku nyeri. Tik tak tik tak tik tak itu kini kukecilkan lagi lalu kupaku di dinding, sibuk mendengar entah bunyi apa di sana.

Rabu, 23 Februari 2011

JEJALAN

Dari pintu ke pintu, aku makin ragu
Seperti diburu kilat belati yang menyaru
Terminal ke terminal, peron ke peron,
juga jendela-jendela yang di sudutnya
kau selotipkan sepotong rembulan

“Rebahlah dulu, suatu hari mereka akan tahu
seberapa kita luka”, katamu waktu itu
Ah, sedang lukamu sendiri mungkin lebih nganga

Bukankah perjalanan masih panjang, kawan
Di stasiun-stasiun, mimpi kita sudah menunggu

Dan mengangon lampau cuma membuat pedih makin putih

Di Kaliurang, kita pahatkan petunjuk di pohon-pohon
telanjang meranggas. Biar kelak kereta itu tahu menuju,
kemana jengah tengkuk kita dijemput

Selasa, 15 Februari 2011

Lingkaran-lingkaran yang Dibelenggukan di Leher Kami.

Langit mengetuk. Malam masih tersangkut pada kelelawar bermata merah. Terbangnya rendah. Tapi tak pernah menyentuh tanah. Kita saling berkata dengan tatapan paling pasir. Halus di pesisir. Tamu. Buru-buru kita bersihkan ruang tamu. Lukisan-lukian cat air panggung musim panas. Topeng-topeng. Laci lemari? Ah iya bersihkan juga! Emang siapa sih mereka?

Kerja keras. Keringat menetes dari bola mata. Ruang lengang. Permadani merah tanpa motif. Tunggu. Benarkah tanpa motif. Mudah-mudahan mereka benar-benar datang. Bingkisan? Tak pernah terfikir tuh. Hei wajahmu masih hitam. Pakai biore! Putih dinding. Kita bersandar. Menanti derak pertanda. Jerit serak telepon atau gagang pintu berputar. Atau angin yang tersenyum antara doa sebelum amin. Hati meringis. Emang siapa sih mereka?

Jam 20. Mereka datang dengan 02 jam. Dasar mereka curang. Mereka memakai wajah ayah kita. Adik kita. Tetangga dekat kami. Sahabat kami. Tanpa berhias mereka sepesona kekasih kami. Mereka cengeng. Lemah. Pemalu. Banyak menuntut. Pemalas. Susah diatur. Suka mengatur.

“Mas, minggu depan kami tak datang, ada final bola!”

Emang siapa sih, kalian?

Jumat, 11 Februari 2011

DI LADANG PARA

Di tikungan setapak menuju ladang,
musim teduh menengger pagar bambu,
mengunjungi sumur kering yang diseruput kemarau,
menanggar angin jantan ke luncung-luncung putik

Beberapa lampau kemarin, Ayah!
Malam-malam kita begitu hantu. Menghitam gempal serupa
babi hutan, yang mengenduskan galau kepada kuncup doa muda,

atau juga kuncup-kuncup doa muda itu mutung
karena matahari menyulamnya menjadi sehamparan nyala.
Dan musim dalam almanak kita rasa begitu malas beranjak

Tunai kini tunai hai, Ayah!
Jerih ditanam, lah tunai merekah. Di ladang para, keringatmu menggetah
Putih mengulir, serupa bulir-bulir ihram. Yang selalu tawaf
pada lukisan ka’bah, dimana sajadahmu selalu basah