Senin, 21 Maret 2011

SEKISAH DI TUBIR BATANG


Cahaya matahari menjilati kilau emas tubuh muaro yang menghanyut tenang. Layar-layar kapal gembung disangkari angin, mengarung sesak oleh rempah dan lada kerinci yang membuat lidah saudagar tiongkok mayau kepayang. Punggau, singgasana Dharmasraya yang pamit lima puluh pandang dari tahta mula tak jua menyurutkan hilir mudik kapal Gujarat  pun Cina yang memuat kapas, kain, dan benang emas. Arus perdagangan masih berpusar deras sebab buih ombak Selat Melaka masih terbau garamnya dari sini. Tentu saja perihal itu membuat Sri Wijaya lantas cemburu kemudian memintal setumpuk siasat.
Di sepanjang arus muaro rumah-rumah panggung bulian betam ditanam bersejajar. Tanah kampungnya begitu basah. Pabilo ditanam, padi kan ranum. Pabilo ditakuk, durian kan rindang. Tiap-tiap manusianya telah paham kemana badan menganut adat. Sebab telah dimulakan  pada hari pagi perempuan-perempuan sehabis beranak berjongkok di ujung titian kayu, mencelup separuh badan bayinya yang belum lunas bulan kedalam sungai. Membiarkan sejenak tubuh telanjang itu dikenali arus. Barulah kemudian diangkat dan dipeluk si perempuan dalam buncah airmata. ”Telah sah melayu kau, hai Bujang!”

0 komentar:

Posting Komentar