Jumat, 15 April 2011

Sayap Patah Merpati


"Lihat baik-baik ya," kata lelaki itu kepada Nia sambil mempersiapkan pertunjukan berikutnya. Sebuah kotak berbentuk kubus dengan sisi-sisi selebar telapak tangan lelaki itu ditaruh di atas sebuah meja bulat sebesar dua kali piring makan. Dengan bilah-bilah jeruji dari kayu, kotak itu tampak seperti sarang burung.

Tidak hanya bola matanya, tapi tubuh Nia secara refleks bergerak mengarah mengikuti gerak lelaki itu yang kini mengambil buah jeruk di meja depan televisi. Lalu buah jeruk berwarna orange segar itu dimasukkan kedalam kotak.

Lelaki itu tersenyum sekilas. Sejenak matanya bertatapan dengan dua bola mata bulat Nia.

"Aaaah!" Nia terloncat untuk kesekian kalinya begitu lelaki itu menggebrak kotak itu hingga memipih, dan tentu saja jeruk itu menjadi hancur seketika. Hanya beberapa potong kecil yang selamat menembus celah-celah jeruji.

Lalu dengan santainya lelaki itu menyapukan tangannya, membersihkan baju hitamnya yang terkena percikan, menegakkan kotak itu kembali semula, dan membuang jeruk yang tak lagi segar itu.


Mata Nia masih terbelalak. Pundaknya sekilas bergetar naik turun. Tangannya mencengkeram keras boneka beruang yang ada dalam genggamannya.

Kemudian laki-laki itu beranjak mengambil selembar kain hitam lalu ditutupkan ke tangan kanannya. 

"Satu, dua.. Tiga!" Tepat pada hitungan ketiga kain itu jatuh dan seketika itu pula berkelebat seekor burung merpati. Sambil membelai punggungnya, burung putih itu ia masukkan ke dalam kotak.

"Jangaaan!" Teriak Nia. Wajahnya memucat, membayangkan apa yang terjadi pada buah jeruk tadi akan menimpa merpati itu.

"Jangan takut ya Nia cantik, merpatinya tidak akan kenapa-kenapa. Percaya deh," rayu lelaki itu. Tanpa menunggu reaksi Nia, ia -sekali lagi- menggebrak, memukul keras kotak itu.

Nia menjerit seraya menutup mata dengan boneka beruang kecilnya.

"Lho kok tutup mata, lihat nih merpatinya."

Perlahan Nia mengintip dari celah ketiak boneka beruang. Kotak itu benar-benar memipih, yang terlihat adalah setumpuk bulu-bulu putih.

"Wah, ke mana badan merpatinya ya?" Lelaki itu menggilirkan pandangannya dari tangan kanan ke tangan kiri, yang kini sama-sama memegang sebuah sayap merpati.

Nia menyipitkan matanya menahan ngeri.

"Ah, coba dibalikin lagi bisa gak ya." Ditariknya bagian atas kotak itu hingga membentuk kotak seperti semula, dimasukkan lagi dua sayap merpati itu, lalu ditutupinya dengan selmbar kain hitam.

"Sim salabim!" Tangan kanannya mengayunkan sebuah tongkat, sementara tangan kirinya dengan cepat menarik kain hitam itu. Ajaib. Seekor merpati kembali muncul. Utuh dengan dua sayapnya sedikit dikepak-kepakkan.

"Mana tepuk tangannya?" Lelaki itu tersenyum menatap Nia yang telah menurunkan boneka beruang dari mukanya, dan kini menatap takjub merpati dalam kotak itu.

"Hei apa yang kau lakukan?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk. Langkahnya cepat. Sepatu hak tingginya bergemeletuk di lantai. Nia mengkerut mendengar suara itu dan segera berlari masuk ke kamarnya.

"Tenang Sis, aku cuma mau menghibur Nia, aku ingin lihat an."

"Pergi! Pergi kau biadab!"

****

Suara burung itu mengagetkan sesosok tubuh yang tengah terbaring di antara serakan boneka. Ia bergegas turun dari tempat tidur lalu mendorong kursi hijau plastiknya. Seekor cicak tampak terkejut mendengar bunyi gesekan di lantai dua itu. Sebentar kemudian sebuah jendela kaca berbingkai kayu bercat putih terbuka. Sebuah kepala yang mungil condong keluar. Rambut ikalnya yang coklat berjatuhan lau naik turun seolah ada pegas di dalamnya.

Seperti seorang teman, Nia meletakkan sebuah boneka ulat di sampingnya lalu mengelus kepalnya. Dua burung merpati yang awalnya terbang setinggi lantai dua tiba-tiba mendarat di tanah. 
Mematuki entah biji-bijan apa saja yang ada di bawah sana.

Penasaran. Nia melongok apa yang dilakukan dua merpati putih di bawah sana. Namun sungguh naas, pijakan kakinya di atas kursi tak seimbang hingga ia terdorong keluar jendela. Jatuh. Tak berapa detik tubuhnya berdebam di teras samping rumah, dengan kedua tangannya menyentuh lantai putih itu terlebih dahulu.

Selain lantai, boneka ulatnya yang ikut terseret jatuh kini merasa juga basah aliran darahnya.
****

Sorak sorai penonton membahana begitu Varel mengakhiri pertunjukannya yang spektakuler. Puluhan kain warna-warni yang ia gunting kecil-kecil tiba-tiba menjelma puluhan merpati begitu ia terbangkan ke udara. Dengan sangat elegan ia mengangkat topi hitamnya dan sedikit membungkuk.

Begitu ia kembali ke belakang panggung dua orang perempuan yang tadi menjadi asistennya mendekat dengan langkah yang sama-sama genit. Keduanya bergelayuti di kiri kanan lengan Varel.

"Sukses besar kita kali ini, Mas." kata perempuan di sebelah kanan sambil membenarkan letak dasi kupu-kupunya.

"Iya, kita akan pesta sampai pagi sayang." Varel mengusap lembut dagu perempuan itu.

"Maaf Pak ada yang mencari." sesorang datang tergopoh-gopoh.

"Sudah kubilang aku tak..." tiba-tiba suaranya tercekat manakala seorang gadis kecil muncul dari balik tirai panggung.

Bajunya putih kusam dan lusuh. Sebuah boneka ulat yang tak kalah kumalnya terikat di kakinya, terseret-seret menyapu lantai.

Gadis kecil itu mendekat. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya. Hanya matanya yang terus menatap mata Varel dan makin berkaca-kaca. Dua lengan panjang bajunya berkibar-kibar tertiup kipas angin di sudut panggung. Kosong.

Varel tiba-tiba terjatuh berlutut. Segenap persendiannya serasa patah semua.



0 komentar:

Posting Komentar