Sabtu, 30 Juli 2011

Lima Bait Sajak Cinta

/1/
Aku menggambar matamu di batu
Agar kebutaan ini melemparkan cahaya pertama
Pada mata batinku

/2/
Ikan adalah bunga-bunga
yang terbang di dalam air
Bunga adalah ikan-ikan
yang terdiam di udara

/3/
Sebab meneteskan air mata
adalah separuh upaya menetaskan cinta
dari cangkang kepedihannya

/4/
Maka akulah akar itu
bersitahan dengan kegelapan
mencari sumber air
hingga dasar matamu

/5/
Adapun puisi kecil yang tak terbaca ini
akan mencair bersama matahari
sebelum perlahan membasahi
ujung kerudungmu

Go Yang De Rombet

Kita tak pernah tahu seberapa besar potensi seseorang untuk menghancurkan dunia, sampai kita datang ke sebuah pesta perkawinan dan mendapati ia memegang mic, menjerit, dan diiringi musik.

Kalimat tersebut adalah petikan dari salah satu status di twitter saya yang juga saya forward ke facebook. Beberapa teman merespon. Mulai dari “LOL”, “Iya aku ngalamin juga tuh”, sampai “maksudnya?” Hemm... (menanggapi komentar yang terakhir) meskipun facebook itu hadir lebih dulu, tapi saya kok malah melihatnya seperti dunia berpentium dua alias loading lama. Banyak hal yang udah lazim di twitter dengan kalimat sarkas tingkat tinggi, atau hal-hal yang lainnya kalau dibawa ke facebook masih belum bisa dicerna dengan baik.

Puisi Bunuh Diri

Kau bilang kenakan ini itu anu pada puisiku. Begitu keras. Sampai-sampai aku mengira akan segera ada perang besar-besaran. Sampai-sampai aku harus mengenakan zirah, perisai, dan topi besi untuk setiap huruf. Mengatur formasi kata kalimat bait. Menyiapkan strategi. Meruncingkan ujung huruf t. Mengisi bubuk mesiu pada huruf d.

Tapi arena peperangan itu, toh hanya selembar kertas. Dan hujan tatapan.
Maka lihatlah rangkai prajurit dengan segala ketelanjangan senjata ini. Setidaknya. Aku punya selembar kertas puisi. Yang tak lagi bolong tergerus penghapus. Yang kuhadapkan kepadamu, tuan. Dengan tangan yang masih gemetar.

Jumat, 29 Juli 2011

Di Sebuah Negeri


Elo, Gue, Kitaaa...


Sabtu, 23 Juli 2011

Isyarat Musim


Seperti ranggas dedaun di bangku taman
Dan jemari musim yang semi sembunyi
Seperti kalbu memutikkan padamu sesuatu,
karena tak ada yang lebih sederhana,
selain itu…

Kamis, 21 Juli 2011

Acak Pandang





Rabu, 13 Juli 2011

Pada Sebuah Danau yang Belum Pernah Kukunjungi


Kaukah itu, Inang? Yang melarutkan kabut di sebuah pagi?
Adakah yang dinyanyikan batubatu selain limbung perahu di pipimu?
Atau yang dipagut angsaangsa dari riak rambutmu, selain matahari canggung dan kuyu?

Pesan Kecil

http://www.flickr.com/photos/junaidrashid

Kutulis ini berulang kali
Pada kerikil, dedaun kering, dan kulitkulit buram akasia
di jalan petang menuju kau pulang

Kusebut ia berulang seru
Pada angin jatuh, juga gerimis yang mengarca kuyu tiangtiang lampu
ketika almanak mulai pikun mengurutkan bulanbulan

Aku mengisyaratkannya, berulang patah
Ke pintu kamarmu, sebagai sepah dikalang debu
yang tak pernah terbaca sepatu kanvasmu yang terburuburu

Selasa, 12 Juli 2011

Hujan itu...

Seperti buah bibir awan-awan kecil. Bahwa katanya ada tempat yang lebih rumah dari udara
Seperti alangkah bahagia kemuncup payung, yang dibelai punggungnya oleh kekasihnya; Cuaca
Seperti gubahan ricik paling suci, yang dinukil dari cawan doa Nabi-nabi
Seperti sanjung lampu taman kepada katak; “Nyanyianmu begitu kolam, teruskan!”
Seperti azimat langit kepada rerumputan; “Memadanglah!”
Seperti gumam keheningan tua, kepada kursi merah dan segelas teh di jendela
Seperti aku yang kanak-kanak, berlarian pulang menuju rahim Ibu

Minggu, 03 Juli 2011

Berlari ke Hutan, Belok Kanan, Jepret!

Nah, berikut ini hasil jepretannya pemirsa. (Hehe.. sekali-sekali boleh lah ya ngepost blog ini gak pake bahasa yang serius, lah, emang kemarin-kemarin ini bahasanya serius?)

Siapa di Sana?








Bukit Kayu


Alam, Mengukir

Migrasi Semut

Loneliness, ouch!