Minggu, 19 Juni 2011

Cisoca

Muhyi
Ia hanya ingin melompat hingga ujung kalimat. Karena tak bisa, dibuatnya huruf-huruf sebagai pijakan. Setelah titik. Kehampaan maha luas.

Agna
Sebaris puisi yang kita tulis, barangkali hanyalah setitik interupsi. Semesta berpuisi tak kenal henti.

Muhyi 
Semakin berpuisi, semakin lekas kita pada kelelahan diri. Dia jua yang bertengger angkuh di ujung sana.

Agna 
Dia. memang hanya Dia yang pantas angkuh sendiri. Kita bisa apa, selain sebatas menulis diari.

Muhyi
Jarum terus berputar. Mencari sudut paling tepat. Tajam paling kelam. Untuk suatu saat melompat, dan bermain2 dengan urat leher kita.

Agna
jarum masih berputar. ah, mungkin saja mereka telah hilang sabar. bosan, melihat kita asik mengeluh dan sibuk menawar.

Muhyi
Aku menawar kelam. Namun malam memecah lampion. Seperti Ibrahim aku terbakar. Seperti domba yang menggantikan aku menggelepar.

>> Nuhun Kang @agnasky, kubayangkan ciremai yang menjulang rimbun, kesejukannya karena tasbih tak henti dari setiap urat daunnya....

0 komentar:

Posting Komentar