Selasa, 08 Mei 2012

Tinta Minta Cinta

foto dari sini
 
--sebuah kutukan bagi seorang penyair

Sebutlah namanya Boy. Seorang lelaki yang sebenarnya kini tengah memasuki usia paruh baya. Punya tiga orang anak dan seorang istri -tentu saja (karena Boy memang bukan tipe penyelingkuh). Tubuhnya memang tambun, dan bisa dikatakan cikal bakal Paman Vernon masa depan. Tapi dompetnya yang tebal, wajahnya yang innocent dan mobilnya yang belum lama ini ia beli dari showroom mobil-mobil bergengsi akan membuat banyak wanita tak berfikir dua kali.

Namun begitu sesungguhnya Boy adalah seorang bayi besar yang sangat merepotkan tatkala di rumah. Ia pernah sekali menggebrak meja makan yang membuat si pembantu yang tengah mengantarkan segelas susu rendah lemak terlonjak, hingga gelas itu terlepas. Jatuh dan pecah. Pasalnya menu yang kali itu tersedia di meja makan daging olahan semua (sebenarnya wajar karena hari itu hari raya kurban).

Ia pun pernah membentak istrinya sambil memukul stir mobil dalam perjalanan pulang dari berbelanja di supermarket saat istrinya tersadar belum membeli gula diet. Vonis dokter tiga bulan lalu yang membuat ia jadi begini. Dilahirkan dari keluarga Jawa yang berada, Boy terbiasa dengan makanan enak dan manis. Gulai, sate, tongseng dan segala macam aneka menu berbahan dasar daging kambing adalah favoritnya. Begitupun dengan minuman; teh, kopi, sirup, coklat hangat hingga es dawet dengan kadar gula yang tinggi menjadi idamannya setiap waktu.


Kini ia harus terbiasa dalam hidup yang penuh aturan (baca; kekangan). Mulai dari beras merah, sayur, lauk dan menu-menu yang harus ditakar dulu sebelum masuk ke dalam piring makannya hingga minuman-minuman yang tawar (ataupun manis tapi dengan manis yang aneh) harus dijalaninya. Padahal salah satu kenikmatan hidup adalah dari apa yang kita makan. Banyak orang yang rela merogoh sakunya dalam-dalam demi memanjakan kebutuhan ‘wisata’ lidahnya. Nah jika hidup tak lagi bisa memberi kelezatan perihal makanan (sesuatu yang selalu kita butuhkan untuk hidup) buat apa lagi kita hidup?

Kurang lebih begitulah –kadar lebainya. Kurang lebih begitu pulalah dengan apa yang dirasakan oleh seseorang penulis saat mendapatkan kutukannya.

Sindrom kertas putih

Bagaimana kita mengetahui seorang penyair (ah bagaimana kalau kita turunkan sejenak ‘tahta’nya menjadi penulis) sedang menjalani masa kutukannya? Sodorkanlah padanya kertas putih kosong dan sebatang pena yang penuh tinta dan tak macet. Lalu suruhlah ia membuat tulisan jenis apapun di situ. Satu, dua, lima menit. Satu, dua, lima jam. Kertas itu masih putih seperti semula. Pena tergeletak, sementara kita bisa melihat bahasa tubuhnya yang berubah. Geliat tubuhnya tak tenang. Tangannya berkeringat dingin. Wajahnya pucat.

Sedemikian mengerikankah menulis itu? Yap! Dan kadar mengerikannya itu berbanding lurus dengan keahlian atau kemapanan seseorang itu dalam hal tulis menulis. Semakin ahli seseorang maka kutukan itu akan semakin kuat dan menakutkan karena saat ia akan menulis bersamaan dengan itu pula sisi dirinya yang lain muncul. Sisi pengkritik yang ganas. “Tulisan apa ini? Sampah!” teriaknya.

Nah, salah satu perjuangan melepaskan diri dari kutukan adalah bagaimana kita membebaskan diri dari pengaruh si pengkritik itu. Kalau perlu sumpal mulutnya dengan kotoran kerbau! Tulis apapun yang ada di benak kita. Apapun. Tuangkan semua gagasannya. Jangan ada yang ditahan. Tulis betapapun buruknya kalimat-kalimat itu. Karena hanya dengan begitu sedikit demi sedikit kertas putih kosong itu akan ternodai hingga hilang kesan putihnya yang seram dan sakral.

Teknik teknik teknik

Jadi, menulis adalah kemampuan menodai? Kalau frase itu (kemampuan menodai) membuat kita lebih ingat tentang teknik atau cara dalam menulis jawab saja dengan lantang “Ya!”
Kesulitan dalam menulis membuat kebanyakan orang lantas berburu teknik. Sibuk mencari tahu bagaimana membuat puisi yang baik, bagaimana memunculkan tokoh yang berkarakter dalam cerita, apakah plot itu? dsb. Dalam beberapa hal mungkin itu berhasil untuk membantu kebuntuan kita dalam menulis –melepaskan diri dari kutukan. Namun itu takkan bertahan lama.

Kegiatan menulis bukanlah kegiatan seperti berburu di hutan. Semakin canggih teknik dan peralatan maka akan semakin mudah mendapatkan hewan buruan. Tidak, yang terjadi kadang justru kebalikannya. Semakin kita memahami tentang teknik dan teori-teori bersamaan dengan itu pula keberadaan sisi pengkritik dalam diri kita akan semakin kuat. Ia akan semakin punya gaya gedor dengan palu seperti palu hakim yang berat dan besar. Ia akan semakin mengerdilkan kita dengan tulisan-tulisan yang berbuah dari cabang dan ranting-ranting pemikiran kita sendiri. Ironis bukan?

Dari biasa lama-lama jadi binasa

Lantas bagaimana kita bisa mengatasi ini semua? Kenapa semuanya malah terlihat jadi rumit begini? Tenang. Hernowo dalam bukunya ‘Mengikat Makna Sehari-hari’ menggaris bawahi kalimat berikut. Jadikanlah kebiasaan lebih dahulu, baru kuasai teknik-teknik membaca dan menulis. Darah dagingkan menulis itu di kehidupanmu, mungkin begitulah (versi lebaynya). 

Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebutuhan mendasar tentunya akan memiliki nilai yang krusial bagi pribadi yang melaksanakannya. Seperti udara bagi nafas. Seperti langit bagi elang. Seperti kebodohan bagi Patrick Star!

Menulis pada akhirnya akan melampaui kewajiban. Kalau tidak menulis serasa ada yang kurang dalam hidup. Sebagaimana Boy yang menderita karena sudah tak bisa menjamah makanan-makanan yang dari dulu digandrunginya. 

“Ah ini sih teori cemen. Aku sudah puluhan tahun berjibaku sama tulisan tetap saja stuck berbulan-bulan!” barangkali ada atau bahkan banyak yang protes begitu. Itu sih lain cerita, Bung. Bila sudah terbiasa menulis lantas kemudian berhenti untuk waktu yang lama itu bisa terjadi karena banyak hal. Utamanya adalah kejenuhan. Kejenuhan itu timbul karena kita bertahan menulis pada level itu-itu saja. Kita menulis yang begitu-begitu saja. Dengan cara dan perenungan yang monoton.

Ya, menulis itu bisa juga menjemukan. Tapi kejemuan itu penting agar kita tertantang untuk tumbuh. Jemu adalah sistem alami yang dibentuk tubuh agar manusia yang punya potensi luar biasa tak lengah dengan ‘kehanyaannya’.

Pada akhirnya semakin kita mendalami dunia kepenulisan maka akan semakin pening dan uring-uringan kita jika suatu saat buntu dalam berkarya. Satu cara ampuh adalah (seperti yang dijelaskan di atas) kembali ke titik awal. Dengan brutal menuliskan apapun ide di kepala. Meskipun biasa. Meskipun standar. Meskipun jelek. Karena tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis dari ketidakkebisaan menggoreskan kata-kata (jauh melebihi rasa sakit karena kritikan terpedas seorang kritikus karya sekalipun). 

Terakhir. Tulisan yang payah ini memang tak mengajukan solusi yang banyak. Karena memang cuma diniatkan sebagai obat pencahar yang mengosongkan perut dan membuat lapar pembaca untuk mendalami lagi tentang; motivasi menulis, menjaga stamina dalam menulis, dan seabrek teknik kepenulisan lainnya. Utamanya mendalami kerja menulis itu sendiri.

Sahutlah rasa lapar itu dengan kerakusan yang digdaya. Seperti penderita stroke dan diabetes melahaprakus makanan kesukaannya yang terpantang. Tulis. Dan tulislah seperti mereka mengabaikan (menyerahkan) nyawanya. Bukankah tinta itu lantas seperti cinta, meminta jiwa kita meluruh seutuh-utuhnya?

0 komentar:

Posting Komentar