Senin, 23 Januari 2017

Jubah Semenanjung

Kincir-kincir masih saja menggulung benang-benang angin. Musim jatuh ini. Sekawanan rumput tepian mengenakan jubah semenanjung. Menyenandung senarai syair. Hijau semi dalam igau-igau kepala. Supaya langit menumpah hujan marwah. Meriah seperti pasang laut yang pernah. Memuja sepasang jejak telapak. Kemudian jadi selalu.

Tapi luputkah kau bahwa jubah itu koyak moyak belaka? Kalau saja kita bisa lebih bersabar mengurai jejalin ingin hingga pahit getir geletar ampas. Di dasar gelas itu semestinya bisa kita baca pertanyaan yang paling rahsia. Kail berumpan yang kan menyentak lelidah kesunyian kita. Lebih bahgia adanya. Tinimbang telusuk jarum yang sempat menjangkiti ujung rambut hingga sela jemari kaki. Kemudian jadi seterusnya.

Dalam jeram jejarum itu tak pernah redam. Meski tangannya selalu gagal menangkapsertakan benang-benang angin. Sehingga betapa pilu reruncing itu menyulamkan kembang-kembang kekosongan. Seperti katamu, angin hanya pantas melintas antara tepi langit dan darat. Hanya sesekali menjadi penjerat. Kemudian jadi abadi.

Di lubuk dinginmu. Jika kau masih mengingat hangat serai pada sesapan pertama itu. Mestilah kau tahu sekarang. Apa yang lebih tercerabut dari lusuh jubah semenanjung itu?

0 komentar:

Posting Komentar