Selasa, 31 Januari 2017

William Dampier Terdampar di Achin


Tiada yang lebih sutera dari telapak Melaka. Bagi bagai sepotong gagak hitam menyanggat sayap patahnya. Di situ rumah-rumah ramah. Ditegakkan dengan tulang-tulang julang. Pepohon hutan yang senantiasa memohon pada Tuhan akan kebaikan. Akan tahun-tahun yang terseberangi. Riuh-rendahnya jalin menjalin selaik sendi. Seperti kaum yang terus mendaras kepada itu suhufi.

Kalimah-kalimah hujah yang ia keluh tiap kali subuh bergaduh. Oh betapa tanpa menara mereka menghalau hamba sahaya.

Sementara kota mereka dibuahkan kepada batang sungai yang mengakar di dada para pendulang, padagang Gujarat dan Cina, serta pemerah lembu. Di ketinggian Passange Jonca pasir-pasir emas merampai bertandan-tandan. Hanya lidah yang bertunas syahadah dan tanduk yang telah diasah mampu menyampainya. Mengambil sekadar atau tak pernah terdengar kabar pulang.

Ia cuma bercukup istirah. Menghimpun rempah dan mengurapi tubuh. Pula sesekali menebalkan kantung belacu hingga cukup baginya menderu ombak untuk kelak bertolak.

Namun bilah penyanggah terburu patah. Dari sebalik gugusan batu kembang ratu jatuh berdebam ke haribaan tanah. Menerbangkan debu-debu malam ke seluruh penjuru alam. Menebar lada hitam pada daging-daging perseteruan.

Ia hanya membasuh kaki ketika tubir sungai berubah parang panjang pembelah. Di sisi Timur Oronkey mengatur siasah dan berhunus lima ribu serdadu. Di seberangnya Shabander berpihak pada ratu baharu dan memasang meriam.

Maka duka bukan semata berlinang darah dari mata pembuluhnya. Bukan saja siang saling berselisih kerling mata-mata penyeberang. Namun jua bersebab sunyi malam kian tajam. Membelah bulan benderang. Menabuh jantung genderang.

Sungguh ia hanya sebahagian para penyinggah. Di wajahnya tiada sehelaipun bulu-bulu selembut domba.

Kampung Jati, 29-01-17

0 komentar:

Posting Komentar