Kamis, 30 Maret 2017

Garis Pantai, Liku Benua dan Lukisan di Atas Kafan yang Dihapuskan

Mereka mencintai kekasih. Kekasih angkasa dengan udara. Hidup kena memijak kemana telapak putih itu menjejak. Memanjat buah-buah berdahan rendah. Ambillah. Ambillah. Untuk membasuh dadamu. Tempat doa-doa mestika dimestikan. Jadi sepasang tongkat-atau tombak? Kala hari lelah melembah. Cahaya lembing. “Pandanglah kami sekali sekala.” Biar laju darah dan air mata berhulu pada yang Satu.

Sebenar maut menggelinding. Cangkang putih renta retak meretak. Lelehannya sekemuning maghribi. Setangkup wewarna. Lelahannya seluka duka. Menyulih taswir wajah-wajah. Sejak tangis pertama pecah di putaran pusara. Wadd, Yaghuts, Ya’uq, Nasr dan Suwa. Nafas-nafas suci yang mangkat silih semilih. Membawa segala kelembutan anginan. Hanya sisa pilu rintih. Benang-benang putih. Berjejalin menjaring-jaring. Huluran kafan membentang-bentang.

“Aku mendengar ratapan kalian, apakah kalian mau aku gambarkan wajahnya sehingga bisa kalian kenang?” Seorang lelaki kerling. Menjanjikan dan menjadikan. Hitam. Titik menetes. Garis menetas. Rupa menegas. Dipandang di awangan. Dibakar bersama tembikar. Direca bersama batuan. Di rumah-rumah. Disembah-sembah. Yang memasukkan musim gugur pada semi. Yang gampang belaka merendahkan matahari.

Duka berganti dupa. Asap tebal menguar di celah antara dua mata menghamba. Turun ke segala ceruk dan perkakas sebagai hujan hitam pewarna. Angan tangan mereka dituntunkan supaya lihai melukiskan. Melekaskan goresan-goresan itu pada segala yang mendatang pandang. Untuk melekatkan wajahMu. Dari garis pantai hingga kemuncak liku benua. Tak terhapus. Sekalipun hujan paling humus.

Kecuali seorang lelaki yang datang dari mereka sendiri. Tubuhnya tak mengenal lakuan dupa. Tak berkuas kayu. Tak berkuasa memahat batu yang ditumpukkan. Lelaki Nuh. Menyeberangi terjangan siang. Menapaki libasan malam. Kepada mereka. Suaranya bening bak tasik tembus cahaya. Di ladangnya 950 batang -atau kurang lebih dari itu ditumbuhkan. Namun teramat sedikit yang berbuah. Selebihnya ranting-ranting tabah.

“Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata,” timpal mereka. “Datangkanlah azab pada kami jika kamu benar adanya.”

Lalu turun titah untuk mematah pohonan. Ke atas bukit yang nanti akan menjadi bukti bahtera. Haluan buritan ribuan hasta. Maka ketika seluruh kayu dan paku telah terakit. Pintu-pintu bumi dibuka. Seluruh sungguh penjuru langit menjatuhkan sumbu-sumbu. Lalu dinyalakan. Hujan paling benderang. Tanur yang memancar. Mengejar angin-angin lebih dahulu berlari tak bertemu lindung-lindungan. Menenggelamkan angan-angan yang dahulu bergantung pada sesembahan. Mudah saja terhapuskan. Hingga puncak dunia mana saja. Hitam dan hanya gelimpang hitam semata.

Kecuali seorang lelaki yang datang dari Nuh sendiri. Tubuhnya dirundung ombak. Nuh berseru menawar sauh. Kan’an menikainya. Ia tahu hakikat tuhannya, bersetia, dan menjatuh air muka Nuh -wajah yang tak kalah bah. Tapi ia tidak tahu bahwa di dasar bahtera. Hewan pungkasan. Sepasang keledai itu. Siapa yang sedari datang diam-diam bergelayutan di perutnya?

0 komentar:

Posting Komentar