Jumat, 31 Maret 2017

Kepompong Kata


Sebagai penyangkal usia yang terlatih, saya bisa tiba-tiba jatuh ke level amatir bila terjumpa penyair muda yang karyanya bikin belingsatan. Terpesona oleh karyanya, sekaligus iri. Meskipun belakangan saya mesti teringat lagi bahwa di dunia ini kita hanya boleh iri kepada tiga hal.

Adalah Surya Gemilang yang kali ini mengusik saya. Pemuda kelahiran Denpasar 21 Maret 1998 ini karyanya sudah tembus Kompas, dengan tema-tema yang diangkat cukup esensial. Seperti puisinya yang bertajuk Kepompong Kata berikut ini

Kepompong Kata


makna di dalam kepompong. kata yang membusuk
menghujani pinggiran jalan
seperti cahaya lampu kendaraan
kulit definisi mengering. menipis. tumbuh retak di mana-mana
sedangkan makna seperti mencurangi waktu

disetubuhi lidah dan liur, kata sanggup berganti pakaian
berganti tubuh
yang satu tetap aman di kapal kamus. sisanya
liar memangkas kultur.

(Jakarta, 2016)

Judulnya barangkali tidak terlalu spesial karena paduan kata ini sudah lumrah kita dengar. Tapi lihatlah bagaimana Surya membatangtubuhkan puisinya. Sebaran kata yang merangkum beberapa citraan visual. Kepompong, hujan, jalan, lampu. Kesemuanya dijejalinkan dengan makna, kata dan definisi. 

Makna yang ada di dalam kepompong itu, adalah kata yang membusuk, yang menghujani pinggiran jalan, menerangi seperti cahaya lampu kendaraan. Sementara kulit definisi mengering, menipis (tapi tidak habis), lalu tumbuh -tapi- retak di mana-mana sedangkan makna seperti mencurangi waktu.

Asik sekali ya bait pertama ini. Makna dalam kepompong, artinya si makna tersebut masih akan mengalami proses, berubah menjadi sesuatu -yang baik. Tapi makna tersebut adalah kata yang membusuk. Sudah pun begitu ia turun seperti hujan. Hujan cahaya lampu yang menerangi jalan. Tentu saja jalan di sini bukan sekadar tempat berlalu lalang kendaraan, tapi arah kemana hidup kita dilangkahkan/dijalankan dengan 'kendaraan'.

Sementara itu definisi dari kata tersebut digambarkan sebagai kulit (sesuatu yang tipis dan permukaan), itu pun masih menipis pula, tambah lagi ia retak (sejalan dengan waktu) sementara makna bergerak mencurangi/tidak terikat oleh waktu. 

Di situ terlihat sekali penegasan perbedaan antara kata defini dan makna. Tiga serangkai yang jadi esensi dalam dunia puisi, digambarkan bisa sangat paradoks sekali.

Kata -pada bait berikutnya- disetubuhi (dicerna) oleh lidah dan liur. Penggunaaan kata disetubuhi sendiri bisa sangat kompleks sebenarnya. Pergulatan dalam ucapan (mulut yang dalamnya ada liur dan lidah). Selain itu kata juga bisa berganti pakain atau tubuh, bentuk ataupun makna dari kata itu sendiri. Yang satu tetap aman (dalam koridor kamus) sementara kata bisa bergerak bebas di luar itu. Baik melalui pengembangan makna, ataupun sebaliknya.

Aduhai, saya sama sekali tak pernah berekspektasi bahwa puisi semacam ini ditulis oleh remaja belasan tahun. Sangat dalam sekali.




0 komentar:

Posting Komentar