Selasa, 29 Januari 2013

Rahasia Kematian Seekor Anjing Selma di Bala Murghab


Barangkali ini hanya tentang benci yang terlalu, lalu tiba-tiba saja menjelma cinta. 

Awalnya aku sama sekali tidak menyukai cerpen-cerpen Linda. Sama sekali. Bahkan pernah sesumbar kepada salah seorang sahabatku @eswlie (hai Ed, jika kau membaca tulisan ini lihatlah, aku sedang melambaikan tangan padamu!) bahwa jika aku harus membaca cerpen-cerpan yang tanpa disertai nama pengarangnya, maka cerpen-cerrpen Linda pasti akan kubaca hanya pada paragraf awal-awal saja.

Tak akan selesai. Cerpen-cerpennya nyaris tanpa plot (waktu itu aku pemeluk ‘agama’ plot yang paling taat’. Ceritanya ngalor ngidul tak tentu arah, seperti cerita seorang anak kecil, tak jelas juntrungannya, dan tak bertanggung jawab pada keutuhan cerita. Dan sekian banyak alasan lain yang membuatku geram kenapa Rahasia Selma didaulat menjadi karya fiksi terbaik dalam KLA -Khatulistiwa Literary Award  tahun 2010.

Dari sebelas cerpen yang ada di Rahasia Selma tak ada satupun yang aku baca hingga selesai. Kalaupun ada pasti aku baca dengan cepat dan melompat-lompat. Waktuku terlalu mahal untuk dihabiskan dengan membaca cerpen-cerpen biasa seperti ini, pikirku penuh angkuh waktu itu.

Namun Rahasia Selma hadir seperti seorang dengan ketabahan yang luar biasa. Seperti yang tertolak, diusir dari rumah namun ia masih tetap setia menunggu di beranda. Berdiri dengan setia di tengah badai terik maupun hantaman hujan –iya, ini memang pengandaian yang berlebihan.

Cerita pertama yang merebut hatiku adalah ‘Kesedihan’. Kala itu aku sedang jenuh dengan cerpen-cerpen yang begitu aku gandrungi dan sedang menjajal kemungkinan-kemungkinan –selingkuhan- yang lain. Begitu aku membaca kisah ini dengan seksama, aku merasa langsung ditarik ke dalam ruang yang begitu tenang, murung, lamban dan teramat melankolis. Pucat musim dingin telah disepuh rona musim semi. Tapi angin laut belum beranjak.

Seperti judulnya cerita ini BENAR-BENAR menunjukkan kesedihan dengan sudut pandang kejadian yang sederhana. Seperti bom yang seukuran cangkir kopi namun punya daya ledak yang luar biasa. Berhari-hari setelah itu aku masih terhanyut dalam rasa iba, bahkan rasa sedih yang sama dengan tokoh ‘aku’ dalam cerita itu.
Berempati pada tokoh fiksi tidakkah perbuatan bodoh? Entahlah. Yang jelas aku benar-benar terteror. Dan tak puas pada titik itu saja, aku pun beranjak pada cerita-cerita lain.
Kebanyakan cerita Linda diambil dari sudut pandang tokoh anak-anak, yang ditampilkan sangat utuh dengan keluguannya memandang dunia, bahkan dalam bercerita, seperti dalam ‘Pohon Kersen’. Dan itu membuat cerita-ceritanya sangat mengalir dan jujur. Sangat realis sekaligus mencekam.

Seperti yang dikagumkan oleh Sutardji bahwa Linda mampu menampilkan cerita bertema kemanusiaan tapi tanpa menyerahkannya ke bawah telapak kaki penindasan pesan. DAN ITU SANGAT BENAR SEKALI. Linda mampu menyajikan cerita yang sangat alami, sangat objektif, tanpa –terlihat-  ada hasrat untuk mengatakan sesuatu, menjadi sesuatu. Apalagi untuk kelihatan berhebat-hebat dengan kata-kata, teknik menulis dsb.

Linda tidak begitu. Dia mampu menjaga jarak dengan setiap karyanya, sehingga karya-karyanya hidup sendiri dalam dunianya, seorang Linda hanya mengetikkannya saja. 

Cerita-cerita seperti itu tetap dipertahankannya dalam kumpulan cerpen berikutnya ‘Seekor Anjing Mati di Bala Murghab’. Saat membeli buku ini Juni Lalu, aku belum terlalu jatuh cinta dengan Linda, jadi aku biarkan saja buku itu dihimpit oleh buku-buku lainnya di Rak.

‘Ketika Makan Kepiting’ yang menjadi cerpen pertama dalam kumcer ini adalah favoritku dari kesembilan cerita lainnya. Linda menggambarkan tokohnya dengan sangat personal, unik, utuh, mengalir dan sangat hidup. 

Meski keseluruhan cerita di kumcer ini juga dahsyat namun menurtku Rahasia Selma tetaplah yang terbaik. Dan semua cerpen-cerpen yang ada membuat aku makin takjub dengan seorang Linda. Selain hal-hal hebatnya yang kusebutkan di atas, hal lain yang menurutku paling menantang dari cerita realis adalah tentang bagaimana menuangkannya. Bila salah teknik, cerita akan bisa jadi terlihat sangat mekanis, kaku, tidak mengalir, dan tentu saja tidak hidup. Namun bila menceritakannya seperti menuangkan air dari teko ke dalam gelas cerita akan terlihat alami, sih, tapi  akan terlihat sangat monoton dan menjemukan.

Tantangan itu dapat dilampaui Linda dengan sangat baik. Ia sangat kreatif dalam bercerita, entah dari sudut pandang, entah penggambaran visualisasi dll, namun tanpa merusak bangunan kealamian cerita. Sekali lagi, seperti cerita itu benar-benar ada dan nyata di luar sana, dibawa angin yang berbisik ke telinga Linda kata per kata.

Akhirnya, jika saja aku masih berumur belia saat membaca cerita-cerita seorang Linda Christanty pasti aku akan langsung mengubah cita-citaku menjadi pilot, dokter, presiden dsb menjadi seorang wartawan. Agar punya banyak cerita, sudut pandang, perenungan yang menjadi tenaga tak tertabatas untuk menciptakan karya-karya berkelas dunia.

Barangkali ini hanya tentang cinta yang terlalu, lalu tiba-tiba saja menjelma cita-cita.

(Amin.)

0 komentar:

Posting Komentar