Jumat, 24 September 2010

Hutan yang Menyala (Part-1)


Aku terbangun karena terkejut dengan keributan dari luar rumah. Tiba-tiba kulihat ibu sedang menodongkan senapan anginnya. Di rumah tak ada siapa-siapa selain kami berdua. Kemana perginya Ayah? Kenapa ibu memakai kaos lengan panjang bergaris biru mendatar milik ayah? Kenapa ibu ingin menembak?

Kulangkahkan kaki-kaki kecilku. Pada bagian lantai kayu tertentu akan terdengar derit lirih, lantai kayu rumah panggung kami. Dari sebuah jendela –lebih tepatnya dinding yang dibiarkan berlubang- kulongokkan kepalaku. Oh, ada puluhan beruk –monyet besar- di bawah sana, di sekitar rumah.

Beruk-beruk itu ramai sekali. Mereka seperti anjing-anjing yang tengah menggonggong ke arah kami. Tak jauh dari rumah, di tepian hutan juga terdengar dan terlihat monyet-monyet bersahutan dan berlompatan pada ranting-ranting pohon yang tinggi. Tiap kali monyet-monyet melopat ranting-ranting yang kecil itu ikut bergerak-gerak. Dan karena jumlah monyetnya ratusan, sehingga seolah-olah ada angin besar yang sedang menggoyang-goyang pohon-pohon di tepian hutan itu.

“Mereka kenapa Bu?” tanyaku penasaran.

“Mau mencuri pisang kita.” Jawab ibu pelan, matanya masih terfokus pada bidikan senapan angin ke sekawanan beruk. Dan kulihat ketika ibu memindahkan arah bidikannya ke satu beruk ke beruk yang lain, beruk yang dibidik terlihat takut dan mengkerut. Mereka takut senapan.

“Kenapa ibu pakai topi ayah juga?” aku baru tersadar ibu juga memakai topi coklat lusuh milik ayah.

“Mereka takutnya sama laki-laki.” Jawab ibu, masih memindahbidikkan senapan anginnya. Oh, jadi mereka juga takut laki-laki, batinku senang.

Iya, ibu sedang menakut-nakuti beruk-beruk itu saja. Aku yakin ibu tidak tega menembaki mereka. Lagi pula ibu takkan kuat mengokang senapan angin itu. Kalau aku yang jadi beruk itu aku pasti tidak ketakutan, karena bagaiamanapun ibu tidak mirip laki-laki sama sekali. Tapi, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran beruk-beruk berbulu coklat keabu-abuan itu?

Aku berlari kecil ke belakang. Dari sebuah lubang kecil di lantai kuintip dapur. “Oh jadi pisang-pisang itu yang mereka inginkan.” Ada sekitar tiga tandan pisang-pisang yang sudah matang. Aku pun turun ke dapur melewati tangga kayu yang berada di sebelah luar.

Seperti baru tersadar akan sesuatu, tiba-tiba tubuhku langsung terjatuh ke tanah. Ditarik oleh puluhan tangan.

0 komentar:

Posting Komentar