Sabtu, 13 November 2010

Di Pinggir Satunya (Menyeberang Batanghari)





Ini adalah sungai yang tak terseberangi hanya dalam seratus atau dua ratus dayung. Di pinggir satunya tiba-tiba bola matamu melukiskan ketakutan yang teramat lebar. Namun kecil sekali langkah kakimu saat menapaki dermaga yang terapung-apung. Detak jantungmu seperti lampu gantung yang temaram berayun-ayun.

“Kalian ingin menyeberang?”

Ini adalah sungai tenang yang menghanyutkan. Tiba-tiba kau menarik nafas dalam-dalam, seakan sedang membandingkan dasar rongga parumu dengan garis kedalaman di mana benda-benda yang tercebur ke sungai tenggelam dan mengendap. Ah, tapi siapa bisa mengira sungai ini sedalam apa. Tubuh sungai yang keruh itu seperti jasad air yang mengapung setelah terlepas dari pemberat, nyawanya sendiri.

“Iya, ke kampung seberang.”

Di bentang ini sungai tak berjembatan. Tempuhan jarak hanya pada perahu-perahu kecil semacam ini –orang-orang di sini menyebutnya ketek. Perahu-perahu yang begitu saja mengapung, tak berpelindung tak berpelampung. Perlahan bergoyang-goyang. Cemasmu menggenggam erat pinggiran perahu. Seperti menggenggam sebuah perisai pada perang yang sedang terlontarkan ribuan anak panah. Melupahapuskan bayang-bayang malaikat hitam. Hingga sampai di pinggir satunya.

“Dua ribu rupiah.” Katanya.

Dan kaupun menerima kembali nyawamu, yang tadi tergantung di legam urat lehernya.

0 komentar:

Posting Komentar