Senin, 08 November 2010

GURU ANWAR

Guru Anwar duduk di kursi kayu lembab, meresapi kehangatan secangkir plastik kopi hitam yang menjalari jemarinya. Atap seng halte bergemuruh dihujam siram hujan. Spanduk-spanduk kain iklan rokok pinggir jalan kuyup berkibar dimain-mainkan tangan angin.
Ia menghela nafas dalam, melirik gunungan kacang rebus di gerobaknya belum hengkang satu biji pun. Malam ini sepi benar, pikirnya. Ia seruput kembali satu teguk kopinya.
Kejap kemudian, sebuah sedan merah muncul menyibak tirai hujan, mendecit didepan halte. Seorang perempuan paruh baya lari tergopoh menghampiri gerobak kacang Guru Anwar.
“Bungkus satu mang!”
Guru anwar bangkit dari lamunannya. Dan, Hah! Guru anwar terpaku. Ada yang baru saja didapatinya diwajah perempuan cantik itu. Bukan dua bola mata bening didalam kelopak sempit kuaci. Atau hidung bangir yang mencuat lancip meneduhi sepasang bibir mungil  merah pejal, berpadu dalam paras jenjang semampai dibalut putih gading.
“Ani? Betul, Ani kan?” Guru anwar mencampur senyum, riang, dan takjub tertahan diwajahnya.
“Iya. Gak pake lama ya”. Sahut si perempuan sembari mengibas butiran hujan di bajunya yang berpotongan sempit.
“Oh iya, maap nak” Guru Anwar lalu tergesa membungkus sekantong kacang rebusnya. Sembari meneruskan pertanyaannya kembali kepada perempuan itu. Dua puluh tahun silam adalah alasan yang tak bisa dianggap kecil untuk pertanyaan-pertanyaan Guru anwar. Sementara perempuan itu semakin menyaru dingin batu, melakoni senyum dan anggukan yang dipaksakan mulai menerbitkan jengah dibenaknya.
Seorang pemuda sejurus kemudian muncul dari balik hujan. Ia menegur sang perempuan, si perempuan membantah. Bibir mereka saling melempar gumpal kata-kata panas. Hampir terjadi pertengkaran kecil, namun diurungkan Guru Anwar yang lagi-lagi menemui ketakjuban, dan hysteria yang kian bertubi-tubi saat ia susuri gurat wajah pemuda itu. Tapi bukan pada galau gelisah yang bertumpuk-tumpuk, juga bukan pada sebuah tuju tak berhilir mengambang pada gurat wajahnya.
“Kau Budi kan?” hati Guru Anwar kini kian melompat-lompat girang. Ia pun beralih mengarahkan aneka rupa pertanyaannya pada si pemuda. Kata-kata yang keluar dari mulut Guru Anwar berlomba-lomba dengan hujan yang kian deras bergemuruh. Dan bungkus kacang rebus yang digenggamnya pun makin lompong tak memiliki dasar.
Sembari itu, si pemuda yang juga jengah kemudian mengangkat panggilan dari handphone-nya. Suara di ujung sana tampak memaksa, mereka lalu saling berteriak hingga akhirnya si pemuda melempar benda mungil itu kedalam got yang meluap. Ia lantas bergegas menarik lengan si perempuan yang balik memaki-maki tak jelas hingga suaranya ikut masuk kedalam sedan merah yang kemudian menderu.
Guru Anwar terpaku mengikuti laju sedan merah yang sudah dikaburkan tirai hujan. Ia masih menggenggam  bungkus kacang lompong yang belum dirampungkannya, menggeleng-gelengkan wajahnya yang senyum.
Ah, duapuluh tahun silam tentunya tak akan pernah sama lagi. Tiap masa tentu punya jatah masing-masing, datang pergi silih ganti-mengganti. Tapi Guru anwar lebih senang mengingat masa duapuluh tahun silam, terutama mengenai anak-anak didiknya tadi_ Budi dan Ani. Dua murid teladan bimbingannya, yang dulu berlangganan juara cepat tepat di kantor Diknas provinsi, merangkap juara siswa teladan tingkat nasional di tahun yang sama. Maka demi mencontohkan prestasi mereka kepada siswa-siswa di seluruh provinsi khususnya dan negeri pada umumnya, diabadikanlah nama mereka oleh pemerintah dalam buku cetak yang dipakai di sekolah-sekolah. Bukan main bangganya Guru Anwar kala itu. Sehingga selalu ada perasaan yang membuncahkan semburat warna saat ia membacakan buku cetak yang terdapat nama kedua murid bimbingannya itu didepan kelas.
“Ini Ibu Budi…Ini Ayah Ani…” ucapnya dalam airmata.

0 komentar:

Posting Komentar