Senin, 22 November 2010

Sepotong Tangan Tanpa Nama

Di ujung aspal terik, tubuh kekar itu mengayuh ontel karatnya yang berderit-derit, seperti hendak patah akibat ditumpuki tiga ekor babi lemas dan kuyu. Satu yang paling besar melintang di batang besi depan, tak ada gerakan barang sedikit kecuali moncong basahnya yang mangut-manggut. Sedang yang dua lagi_besar dan kecil di tumpuk di boncengan. Sepertinya babi-babi itu satu keluarga, anak beranak, atau mungkin saudara jauh. Ah, entahlah. Dimana-mana babi memang mirip.

“Ditooo!!!”
“Ragiiil”
“Bayuuuu!”

Kami saling melemparkan nama satu sama lain pada pria pembawa babi itu. Tanpa canggung ia pun tersenyum membalas dengan lambaian tangan gempalnya, seperti tak ada beban.


Begitulah saban pulang sekolah, kami sengaja menunggu si penangkap babi pulang. Sembari menebak berapa ekor babi yang akan ia bawa pulang nanti, meski terkadang kepulangannya tak membawa seekor babi pun. Perjumpaan dengan si penangkap babi adalah sebuah prestise tersendiri bagi anak-anak komplek. Sebab ia sangat jarang terlihat. Pukul lima pagi ia telah mengayuh ontel menuju hutan di belakang komplek, diikuti seekor anjing pemburu berwarna hitam penuh kurap.

Adapun perihal nama si penangkap babi, tak seorang pun mafhum. Menurut desas-desus, nama itu tertera dibalik lengannya. Dibawah gambar seekor ular derik, tertera dalam goresan huruf cina yang tak kami paham maksudnya. Dan jangan harap bisa menanyakan kepada si empunya, selain gagu ia pun selalu menghindari berdekatan dengan orang lain. Dunia dibenaknya hanya mengenai hutan, babi, dan ontel. Ah, satu lagi_ anjing kurapnya. Makanya kami sering menghadiahkan nama salah satu teman kepada si pemburu, tentunya dengan maksud menggoda si teman tersebut.

Hari berganti, bulan berlalu, si pemburu semakin jarang menampakkan diri. Pernah dalam sebulan kami benar-benar tak menjumpainya. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa global warming sehingga persediaan babi di hutan pun turut menipis?

Kabar-kabarnya hal ini ada hubungannya dengan kedatangan pemburu babi lain. Pemburu babi yang lebih elit dan modern. Mereka menunggangi hardtop, bersenapan laras panjang, pun anjing-anjingnya tegap dan buas, tak mengidap kurap sedikitpun. Sepanjang jalan mereka selalu menggonggongi, seperti sulit membedakan mana babi, mana manusia. Pagi-pagi mereka datang bergerombol. Tiga atau empat mobil. Sore hari mereka pulang dengan tigabelas babi hutan buntal-buntal di bak mobilnya.

Seseorang yang tampaknya kapten rombongan mereka selalu berdiri di bak belakang mobil, membiarkan kumisnya berketar-ketir dimainkan angin. Umurnya mungkin empatpuluhan, tetapi tampak masih gagah. Mengenakan kacamata hitam, bertopi ala koboi sembari mengigit kretek hitam. Aih, pemburu babi mana yang lebih gagah dari kapten ini. Aku juluki ia “kapten babi”.

Lagi-lagi kabarnya, sebulan lalu seorang penghuni komplek pernah menyaksikan si pemburu tak bernama lari tunggang langgang diburu kapten babi beserta rombongan dan anjing-anjing buasnya. Dan sampai  hari ini si pemburu babi tak bernama tak pernah lagi nampak batang hidungnya.

Setelah satu bulan berlalu, di suatu pagi bulan berikutnya sepulang sekolah kami menemukan sesuatu yang tak asing. Rasa penasaran, takut dan cemas yang berbaur-baur memenuhi benak akibat sesuatu yang tak asing itu. Seekor anjing hitam kurap berjalan terseok-seok diatas aspal, entah darimana datangnya. Sekujur badannya dipenuhi luka menganga seperti daging setengah masak, ia layaknya bakal hidangan siap masak yang kabur dari penggorengan. Di moncongnya tergantung sebuah kresek hitam penuh lumpur kering. Ketika kami dekati, ia terbirit-birit lalu melolong di kejauhan, pilu sekali suara itu.

Kami dekati kresek hitam yang ditinggalkan anjing itu. Dada kami semakin gemuruh. Dengan alasan keamanan, atau mungkin akibat takut maka kami gunakan ranting untuk mengangkat dan membawanya ke tempat aman untuk.

Dan, aaah, saat diangkat kresek lapuk itu sobek. Memuntahkan sesuatu yang membuat temanku menjerit-jerit histeris. Dadaku pun tak kalah gempar memandangi sesuatu yang baru saja jatuh itu, sepotong tangan pucat dengan tato ular belang. Dibaliknya tertera sebuah tulisan cina, yang sejak dulu tak kami pahami artinya.

0 komentar:

Posting Komentar