Senin, 08 November 2010

SAMUDERA DI LOBI HOTEL

Dengan langkah gugup kami memasuki pintu utama gedung hotel, disambut pintu kaca otomatis yang baik hati membuka dirinya untuk kami. Seketika langkah kami mencium ubin licin gemerlap sebuah lobi megah dengan tangga berkarpet merah, berulin-ulin seperti ular menggapai lantai diatasnya. Suasana ruangan nan mewah ditambah hawa pendingin ruangan menusuk membuat kami semakin gugup.
Sejurus kemudian kami melangkah menuju meja resepsionis, bermaksud menanyakan sebuah nama yang yang kami cari. Pria resepsionis menyambut ramah dan menanyakan urusan apa yang bisa di bantu. Setelah kami utarakan maksud, telunjuknya pun langsung menyusuri sebuah buku tamu lalu berbicara dengan seseorang diujung telepon.
“Ya, sebentar lagi bapaknya turun!”
“Makasih ya!” kami membarter senyum.
Dengan dada yang makin degup, kami mendudukkan gugup di sofa merah. Suara riuh rendah terdengar dari beberapa orang paruh baya yang sedang asyik melingkari beberapa buah meja kecil. Aku memperhatikan cantiknya lampu kristal  lobi hotel yang menggantung redup.
“Aduhhh, aku gugup nih!” temanku meremas-remas jarinya. Aku cuma tersenyum.
Tak beberapa lalam sosok sederhana yang ingin kami temui itu keluar dari dalam perut lift, melangkah perlahan kearah sofa kami. Sebenarnya kami belum memiliki peta wajah masing-masing. Mungkin sikap kikuk kami itulah yang menjadi penunjuk sehingga ia langsung mengenali kami.
“Muhyi ya?” iya menyapa temanku.
“Eh iya om!” kami bersungut-sungut.
Kami saling berjabat tangan, bertanya kabar lalu duduk bersama. Pria sederhana itu mengerjap-kerjapkan matanya yang merah. Ah, kami jadi sedikit tak enak hati padanya. Sebab awalnya beliaulah yang menunggu kami di lobi hotel  itu. Sesuai waktu yang disepakati melalui sms kami, pukul 09.00. Tetapi kami terlambat setengah jam karena sedang menghadiri acara di tempat lain. Sehingga ia pun kembali naik kekamarnya lalu mengistirahatkan mata kembali. Ah, maaf ya om!
Setelah itu kami pun saling menyusuri diri masing-masing. Temanku_ Muhyi-lah yang sebenarnya sudah lama mengenal pria ini melalui media Twitter. Melalui Twitter pula kami ketahui mengenai kedatangannya ke kota kami, untuk menghadiri rapat Harian Jawa Post se-Indonesia. Hanya saja aku belum paham betul mengenai riwayatnya, yang kutahu beliau adalah penyair terkemuka yang kelak karya dan kata-katanya akan menjadi salah satu perbendaharaan inspirasi berarti bagiku dan karyaku juga tentunya.
Jika sebelumnya kami sering menimba teori-teori melalui buku-buku, khususnya teori sastra. Maka itu tidak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hanya sebaris kalimat yang keluar langsung dari tenggorokan si penulis tersebut secara langsung. Begitulah yang kami rasakan di lobi hotel pada malam itu. Setiap kata-kata yang disabdakan si penyair ini secara langsung bagaikan ombak yang saling berjekar-kejar deras, berdebur-debur lalu membentang sebagai samudera ilmu nan amat luas. Yang kami pun lantas tenggelam didalamnya. Basah oleh kata-kata. Basah oleh gelora. Basah oleh sesuatu yang mungkin belum ada penamaan atasnya dalam semesta pengetahuan kami selama ini.
Aku lantas berfikir, beginikah nikmatnya para sahabat yang bersejajar duduk dengan Muhammad mulia untuk memunguti setiap buncahan sabda yang diutarakan sang Nabi mulia. Hingga gaungnya dapat menjadi naungan teduh sepanjang hikayat ummat. Ya Allah!
Sekarang rasa kikuk kami mulai mencair oleh sesuatu yang panas didalam dada. Subhanallah. Diskusi kami mengalir, sangat deras oleh dada yang meletup-letup.
Maklumlah sobat, kami ini hidup di negeri melayu bernama Jambi. Yang amat sulit menemui orang-orang inspiratif seperti beliau ini. Bisa dibilang kami terjauh dari jangkauan tangan-tangan orang-orang besar berkelas nasional.
Percakapan kami pun berlangsung hanyut, menggelora. Aku pun tak mau rugi pada momen ini, sehingga kuambil kertas berikut pena dan kupindai setiap kata yang keluar dari ucapannya kedalam kertas. Beruntung sekali temanku yang mendapatkan dua buah buku berbubuh tandatangan dan kesan dari sang penyair. Wah, memang bukan main karyanya itu.
Sungguh murah benar ilmu penyair ini, tak segan-segan ia membagikannya kepada kami. Seakan-akan tak ada yang tersembunyi dibalik kekatanya. Ditambah lagi keakraban yang ia ciptakan kedalam perbincangan.
“seorang penyair, harus merasakan setiap peristiwa di sekelilingnya. Kehujanan, tersesat di hutan, menyaksikan sakaratul maut, ataupun kejadian-kejadian lain yang mungkin disepelekan orang lain. Ah, tadi pagi saya berjalan-jalan menyusuri trotoar di luar, betapa banyak kejadian yang dapat kita resapi. Saya sangat menikmati semua itu. Maka jika sampai disaat kita menumpahkannya kedalam puisi, betapa nikmatnya!”
Kami pun jadi tahu, bahwa puisi juga merupakan refleksi , pertanyaan, dan pergelutan diri kita dengan setiap kejadian, serta hubungan dengan mahkluk, semesta, dan Tuhan. Yang akhirnya menjadi sesuatu yang bermakna. Tanpa kita bermaksud mencari makna tersebut sebelumnya. Sebab makna itu akan bertunas lalu mekar dengan sendirinya.
Ya, memang akhirnya ada sesuatu yang kami rasakan berbeda semenjak pertemuan itu. Ternyata puisi tak hanya bait-baris permainan kata. Tapi masih ada sesuatu dibaliknya yang patut disibak dan diresapi, suatu cara mengerti yang amat berbeda terhadap lingkungan semesta juga Sang Maha.
Akhirnya waktulah yang menggesa kami untuk menyudahi perbincangan pada malam itu. Setelah aku pamit terlebih dahulu untuk kembali lagi mengemasi peralatan di tempat acara yang kami hadiri sebelumnya. Sebab saat itu aku bertugas sebagai salah satu pengisi acara. Lalu aku pun berpamitan. Selang beberapa lama barulah kemudian temanku Muhyi juga berpamitan. Sebenarnya si penyair itu telah merasakan kelaparan sejak awal perbincangan tadi, tetapi ia bersabar. Ah, jadi tambah tak enak hati jadinya.
Akhirnya kami pun kembali kepada hunian masing-masing. Masih ada yang harus kami_ aku dan temanku Muhyi _ diskusikan esok hari mengenai ini. seputar puisi tentunya. Ah,  rasanya seperti seorang bocah kecil mendapat sebuah mainan baru yang hebat luar biasa, canggih, dan liar. Perjalanan kata-kata kami masih sangat panjang, masih banyak yang harus diproseskan. Lelah-lelah dan luka-luka yang harus disusun menjadi titian menuju cita. Dan tak lupa pula rasa terimakasih berjemu hingga atas segala inspirasi, bara dan ruh bagi perjalanan kepenulisan kami kedepannya,  kepada si penyair sederhana itu_ Hasan Aspahani.

2 komentar:

SUKMA mengatakan...

Boleh nggak ikut posting puisi?

kicaupunai mengatakan...

boleh dong mbak Sukma..
tapi pake proses seleksi dulu ya...
hahaha... -sok banget dehh-
:)

Posting Komentar